TEMPO.CO , Palembang:Pemerintah provinsi Sumatera Selatan melarang penjualan bahan mentah batu akik dalam jumlah besar. Pelarangan tersebut dimaksudkan agar penambang dan pengrajin tidak merusak lingkungan alam sekitar.
Selain itu, regulasi dijalankan untuk menghidupkan pasar batu akik secara terus menerus. Hal ini disampaikan oleh Permana, Kepala Dinas Perindusterian dan Perdagangan Sumsel, Jumat, 3 April 2015.
"Pengrajin harus menjual dalam bentuk jadi bukan bongkahan," kata Permana. Menurutnya jika kebijakan tersebut tidak diterapkan, ditakutkan sumber alam yang ada di sejumlah daerah itu akan habis tanpa membawa manfaat bagi rakyat di sekitar tambang.
Selama ini pihaknya mencermati banyak penambang menjual bahan mentah tanpa diolah sehingga penghasil penambang tidak memadai.
Menurut Permana, guna menjalankan regulasi tersebut, Pemprov Sumsel sudah lebih dulu memberi pelatihan kepada pengrajin batu akik. Pihaknya juga memberi bantuan 20 unit alat asah agar nilai batu akik dapat dijual dengan harga tinggi.
Pembatasan penjualan batu akik meliputi transaksi antar negara maupun daerah sehingga ke depannya Disperindag akan berkoordinasi dengan Bea Cukai. "Kami juga kembangkan pasar khusus yang sudah jadi."
Riswandani, pengrajin batu akik di Batu Raja menyambut baik pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah. Hanya saja ia menilai aturan tersebut belum diikuti dengan ketersedian peralatan produksi dan permodalan yang memadai.
Sehingga penambang lebih memilih untuk menjual dalam bentuk bongkahan. "Biasanya kami sudah mendapat uang muka dari pembeli bongkahan itu," kata Riswandani.
Sejauh ini Sumatera Selatan memiliki dua daerah sebagai sentra tambang batu akik yang terkenal di kalangan pencinta batu. Kedua daerah itu meliputi Baturaja di Kabupaten Ogan Komering Ulu serta Musi Rawas Utara.
Batu Raja dikenal sebagai penghasil batu Mizone dan spiritus sementara Musi Rawas Utara menghasilkan batu teratai emas. "Di sini persedian Mizone sama Spiritus masih banyak."
PARLIZA HENDRAWAN