Iklan
TEMPO Interaktif, : Istilah "partai gurem" sering dipakai untuk menyebut partai yang perolehan suaranya kecil dalam dua kali pemilihan umum multipartai, 1999 dan 2004. Partai gurem, yang perolehan suara nasionalnya di bawah 2 persen, hasil pemilihan umum tahun lalu berjumlah 13. Partai dengan ambang perolehan 2 persen yang duduk di peringkat 11 adalah Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), partai Siti Hardijanti (Tutut) dan kawan-kawan.Kalau yang termasuk partai gurem perolehan suaranya di bawah 5 persen, jumlahnya bertambah jadi 17, karena yang perolehannya di atas 5 persen hanya 7. Dengan batas ini, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Damai Sejahtera (PDS), dan PKPB tergolong partai gurem. Istilah "gurem" memang kurang mengenakkan dibandingkan dengan "kecil". Istilah "gurem" mengesankan ketidakberartian, kurang bermakna, atau sekadar pelengkap penderita.Tapi itu dulu, sebelum pemilihan kepala daerah langsung. Pemilihan daerah telah membuka kesempatan bagi partai-partai gurem untuk tampil, menang, dan bermakna. Karena distribusi kekuatan yang tidak merata, partai politik besar di tingkat nasional seperti Golkar dan PDI Perjuangan kerap membutuhkan dukungan partai gurem untuk menggenapkan minimal 15 persen suara dan/atau kursi sebagai syarat pencalonan pemilihan kepala daerah. Dengan cara ini, partai gurem menjadi penting.Gurem di nasional belum tentu gurem di tingkat daerah. Beberapa partai gurem meraih porsi suara cukup signifikan di daerah. Misalnya Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK)-nya Ryaas Rasyid di Sulawesi Selatan, Perhimpunan Indonesia Baru (PIB)-nya Sjahrir di Papua dan Irian Jaya Barat, PDS di Sulawesi Utara, atau PBB di Bangka. Di daerah-daerah itu, partai gurem bisa sendirian mengajukan calon tanpa perlu tambahan suara dan kursi dari partai lain.Kalaupun tidak dilamar partai besar karena tidak dibutuhkan atau tidak cukup besar untuk maju sendiri, partai gurem tampaknya berhasil menemukan cara untuk tetap eksis, yakni dengan membuat koalisi partai gurem, yang kalau suaranya dikumpulkan sedikit demi sedikit mampu juga memenuhi syarat pencalonan pemilihan kepala daerah. Bahkan kandidat koalisi belasan partai gurem itu kerap menjadikannya alat kampanye. Misalnya, "Pilih pasangan AB, kandidat dari 15 partai". Dengan begini, kandidat partai gurem kelihatan jadi besar dan hebat juga.Lebih hebat lagi, pemilihan kepala daerah di beberapa daerah dimenangi oleh kandidat dari partai gurem di tingkat nasional. Misalnya, pasangan Basuki Tjahja Purnama-Khaerul Effendi dilaporkan sementara unggul di Belitung Timur. Pasangan ini diajukan PIB dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) dan meninggalkan perolehan suara partai besar lainnya.Di Tomohon, pasangan Jefferson Rumajan-Linneke Watoelangkow, yang dijagokan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNIM), Partai Persatuan Daerah (PPD), PNBK, PKPB, dan Patriot Pancasila terpilih menjadi pemenang seperti halnya pasangan Alwen Roy Patysina-Malewa Patti Kaloba di Kepulauan Aru, yang diusung koalisi PBB, Patriot Pancasila, Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).Apa yang bisa menjelaskan kemenangan calon-calon partai gurem ini? Masalahnya adalah di daerah masih banyak pengurus partai besar yang memiliki ilusi bahwa calon dari partai besar berpeluang lebih besar untuk memenangi pemilihan kepala daerah. Mereka seolah lupa terhadap pemilihan presiden 2004 yang baru lalu, yang menunjukkan bahwa dalam pemilihan langsung, pilihan orang terhadap partai tidak identik dengan pilihan atas kandidat.Di sisi lain, pucuk pemimpin partai besar biasanya memiliki arogansi dan egoisme yang tinggi. Ia tidak mau menyerahkan dukungan kepada kandidat yang datang dari partai lain yang lebih kecil atau bahkan tidak berpartai meskipun kandidat itu lebih populer dibanding dirinya.Kadang-kadang pucuk pemimpin dari partai besar juga terjebak dalam ilusi ketenaran dan kepopuleran karena ia berada dalam lingkungan "asal bapak senang". Dalam lingkungan ini, ia kerap terbuai oleh angin surga yang diembuskan orang di sekitarnya.Fenomena kebangkitan calon-calon partai gurem ini tentu meresahkan pengurus partai-partai besar. Saat ini mungkin Golkar menjadi partai yang paling gelisah dari semua partai yang ada. Sebagai partai terbesar nasional, bagian dari kekuasaan di pusat, memiliki jaringan paling luas di Nusantara, dan mantan penguasa politik pusat dan daerah selama 30 tahun, sejauh ini target Golkar memenangi 60 persen pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia tidak tercapai. Menurut catatan, dari 82 pemilihan kepala daerah yang sudah dihitung, pasangan dari Golkar hanya menang di 29 tempat atau 35 persen.Dengan pemahaman bahwa partai hanya bisa menang bila mencalonkan kandidat yang popularitasnya tinggi di masyarakat, jelas ada sesuatu yang salah dengan mekanisme rekrutmen pencalonan kandidat pemilihan kepala daerah oleh Golkar. Mekanisme yang ada selama ini terlalu menyerahkan keputusan pencalonan kepada partai di daerah, yang sering terlalu didominasi pemimpinnya. Tampaknya mekanisme ini harus dimodifikasi.Mekanisme yang paling elegan agar hak suara pemimpin pusat dapat diterima dan dibenarkan oleh pengurus daerah adalah dengan menyelenggarakan survei pemilihan kepala daerah di daerah yang bersangkutan. Dengan survei itu, akan diperoleh informasi tentang tingkat pengenalan, kesukaan, dan dukungan terhadap kandidat. Hasil survei juga akan berguna bagi partai dan siapa pun kandidat terpilih dalam proses kampanye, karena di sana ada data lain, misalnya tentang evaluasi terhadap kinerja incumbent, isu populer daerah, akses media massa, dan peta distribusi dukungan di daerah.Mekanisme yang sama sebaiknya ditempuh oleh kandidat partai-partai gurem. Kemenangan sejumlah kandidat partai gurem sejauh ini masih sporadis dan minoritas, mungkin ada sedikit faktor kebetulan di sana. Tapi, kalau ingin bangkit melalui momentum pemilihan kepala daerah, partai gurem harus lebih sistematis dan ilmiah dalam perekrutan calon. Yang harus diingat, survei pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan oleh orang dan lembaga yang berpengalaman. Ada banyak jenis survei yang mengklaim survei pemilihan kepala daerah sekarang ini yang sulit dipertanggungjawabkan akurasi dan presisinya.Jika partai gurem lebih sistematis dan meminta bantuan institusi pollsters dan konsultan kampanye dalam pemilihan kepala daerah, tidak tertutup kemungkinan bahwa yang disebut partai gurem justru akan berkuasa di tingkat daerah. Kemenangan di pemilihan kepala daerah secara psikologis dan materiil akan menaikkan peluang dan potensi partai gurem menyongsong Pemilihan Umum 2009. Pascapemilihan kepala daerah, pengurus partai gurem ternyata tidak mesti rendah diri atau selamanya menjadi pelengkap penderita.Kebangkitan partai-partai gurem dalam pemilihan kepala daerah mungkin bisa berdampak positif dengan lebih tersebarnya orang berkualitas di daerah ke berbagai partai. Selama ini, orang seperti itu terkonsentrasi ke partai besar seperti Golkar karena diasumsikan di sinilah ada peluang dan akses terbesar menuju sasaran kekuasaan dan pembuatan kebijakan. Hasil pemilihan kepala daerah sejauh ini sedikit-banyak akan mengubah paradigma berpikir orang tentang aktivitas berpartai, khususnya bila semakin banyak calon partai gurem yang menang dalam pemilihan kepala daerah.Muhammad QodariWakil Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia, JakartaKolom ini juga bisa dibaca di Koran Tempo, 2 Juli 2005.