TEMPO Interaktif, Jakarta - Sejumlah pihak mendesak Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengundur waktu pengesahan Rancangan Undang Undang Intelijen, yang rencananya rampung dibahas pada Juli mendatang. Banyaknya poin krusial dalam rancangan itu menuntut waktu yang lebih panjang untuk menjaring banyak masukan dari berbagai kalangan.
"Target bulan Juli sebaiknya diundur sampai akhir tahun, sehingga bisa dibicarakan di seluruh provinsi," kata Ketua Dewan Federasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, dalam diskusi bertema "Mengkritisi RUU Intelijen" di Warung Daun Cikini, Sabtu 26 Maret 2011. Masukan dari seluruh lapisan masyarakat, menurut dia sangat berharga untuk menyempurnakan rancangan.
Hal senada juga disampaikan oleh analis intelijen Soeripto, yang meminta pengesahan rancangan yang merupakan inisiatif DPR itu diundur, supaya lebih banyak masukan dari masyarakat. "Ketika pembahasan di DPR pun yang datang jangan cuma 10 orang seperti saat rapat dengar pendapat. Paling tidak 90 persen hadir," kata dia.
Menurut Soeripto, rampungnya rancangan menjadi undang-undang bukanlah satu-satunya poin terpenting. Yang jauh lebih penting adalah perubahan kultur di dalam lembaga intelijen itu sendiri.
Seperti dikabarkan sebelumnya, salah satu poin krusial dalam RUU Intelijen adalah soal kewenangan penyadapan yang dilakukan oleh intelijen. Kewenangan penyadapan belum diatur secara jelas dan lengkap di dalam rancangan tersebut. Menurut Kontras, Kendati lembaga koordinasi kerja intelijen sudah dicantumkan di dalam rancangan, yakni bernama Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN), tapi lembaga yang punya kewenangan menyadap belum ditentukan secara jelas.
Padahal, di Indonesia terdapat banyak lembaga intelijen yang memiliki ranah pengawasan berbeda-beda. Seperti lembaga intelijen kepolisian, lembaga intelijen pertahanan dan keamanan, lembaga intelijen teknologi, serta Badan Intelijen Negara (BIN).
MAHARDIKA SATRIA HADI