TEMPO.CO, Jakarta - Calon gubernur Jakarta nomor urut tiga, Pramono Anung, mengecam tindakan pembubaran diskusi Forum Tanah Air (FTA) yang terjadi di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan. Menurut Pramono, tidak seharusnya diskusi serupa itu dibubarkan, karena sudah menjadi bagian dari demokrasi.
"Tidak boleh (dibubarkan), ini adalah bagian dari demokrasi dan tidak boleh terulang lagi ada pembubaran-pembubaran," kata Pramono, saat ditemui usai blusukan di Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Selasa, 1 Oktober 2024.
Pramono menyebut, pemerintah maupun aparat penegak hukum harus bertanggung jawab atas terjadinya aksi pembubaran diskusi itu. Dia meminta, peristiwa serupa ini tidak seharusnya terjadi lagi di masa mendatang.
Adapun kecaman dan permintaan ini, disampaikan Pramono bukan dalam rangka kampanye karena dia tengah menjadi calon gubernur Jakarta. Melainkan sudah menjadi pemikiran dan sikap dia sejak sebelum agenda pemilihan gubernur dilangsungkan.
"Terpilih ataupun tidak terpilih sebagai gubernur, pembubaran diskusi ini tetap saya anggap sebagai hal yang tidak boleh terjadi. Dalam bentuk apapun, pembubaran diskusi tetap tidak boleh dilakukan," ujar Pramono.
Sebelumnya, pada Sabtu, 28 September 2024, diskusi yang digelar oleh FTA dengan tajuk "Silaturahmi Kebangsaan Diaspora bersama Tokoh dan Aktivis Nasional” dibubarkan secara paksa oleh sekelompok massa.
Adapun beberapa tokoh sebagai narasumber yang hadir dalam diskusi ini, di antaranya pakar hukum tata negara Refly Harun, Marwan Batubara, Said Didu, Din Syamsuddin, Rizal Fadhilah, dan Soenarko. Serta ada juga Ketua Forum Tanah Air, Tata Kesantra, dan Sekjen FTA, Ida N. Kusdianti.
Seorang pemateri yang hadir, Din Syamsudin, mengungkapkan, sejak pagi, sekelompok massa sudah berorasi dari atas sebuah mobil komando di depan hotel. “Tidak terlalu jelas pesan yang mereka sampaikan, kecuali mengkritik para narasumber yang diundang dan membela rezim Presiden Jokowi,” kata Din, pada 28 September 2024.
Saat acara baru akan dimulai, massa yang hadir memasuki ruangan hotel dan mengobrak-abrik ruangan. Menurut Din, polisi terlihat diam dan membiarkan massa tetap rusuh. “Ada polisi, tapi tidak melakukan upaya penghadangan terhadap pengacau. Mereka semula orasi di depan hotel, tapi bisa bebas masuk ke ruangan yg berada di bagian belakang hotel,” jelas Din.
Lalu, acara ini berubah menjadi konferensi pers. Para pembicara mengecam tindakan brutal kelompok massa. Selain itu, pembicara juga menyayangkan aparat keamanan tidak menjaga keamanan dan melindungi para tokoh serta masyarakat yang berkumpul di ruangan hotel.
Akibatnya, diskusi ini berakhir ricuh karena sekelompok orang memporakporandakan panggung, menyobek backdrop, mematahkan tiang microphone, dan mengancam peserta yang baru hadir.
Sementara itu, Wakapolda Metro, Brigjen Pol, Djati Wiyoto Abadhy, menyampaikan, awalnya polisi masih terfokus di depan hotel melaksanakan pengamanan aksi unjuk rasa. Lalu, tiba-tiba sekitar 10-15 orang langsung masuk merangsek ke dalam gedung.
Tenaga pengamanan hotel sempat mencegah aksi tersebut sampai terjadi aksi pemukulan. Namun, petugas tidak seimbang membuat massa berhasil masuk. Setelah kejadian itu, petugas di depan baru menuju ke gedung belakang yang berjarak sekitar 100 meter.
Sebagai upaya penanganan aksi premanisme tersebut, polisi telah menangkap beberapa pelaku pembubaran paksa acara diskusi diaspora tersebut. Bahkan, Polda Metro Jaya juga telah mengungkapkan peran lima orang yang terindikasi sebagai pelaku pembubaran dan perusakan diskusi milik FTA.
Pilihan Editor: Penyerangan dan Pembubaran Diskusi Forum Tanah Air di Kemang, Ini Respons Komnas HAM, SETARA Institute dan Lainnya
Sultan Abdurrahman, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.