TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai calon tunggal pada pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 bukan agenda lokal, tetapi ekses dari agenda elite nasional. Titi menyampaikan hal itu dalam webinar yang disaksikan dari Jakarta pada Ahad, 8 September 2024.
“Kemudian ada penetrasi melalui rekomendasi dewan pengurus pusat (DPP) partai politik yang hanya menghasilkan calon tunggal,” kata Titi.
Dia menuturkan calon tunggal di pilkada bukan hanya soal permasalahan daerah atau demokrasi lokal di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, tetapi telah menjadi sesuatu yang diciptakan oleh propaganda politik nasional.
Titi menyebutkan fenomena calon tunggal saat ini memiliki pola dengan memborong dukungan mayoritas partai politik, mulai dari 12 hingga 18 dukungan. Meski demikian, dia mengatakan fenomena tersebut sempat terselamatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah.
“Tangerang Selatan hampir calon tunggal, 16 partai versus satu partai. Selamat karena putusan MK,” ujarnya.
Karena itu, Titi merekomendasikan adanya evaluasi atas sentralisasi pencalonan kepala dan wakil kepala daerah. Dia menyarankan agar otonomi pencalonan diberikan kepada pengurus partai di daerah, bukan seperti saat ini yang terpusat di DPP.
Calon Tunggal di Pilkada 2024 Berbeda dengan 2015-2020
Titi menilai terdapat perbedaan calon tunggal di Pilkada 2024 dengan masa 2015 hingga 2020. Dia mengatakan calon tunggal pada 2015 dilakukan untuk memberikan akses pencalonan kepada partai.
“Pasca-2015, calon tunggal disertai motif untuk menutup akses pencalonan oleh partai dengan memborong semua tiket dari lebih 10 partai, sehingga partai-partai tersisa tidak mampu mengusung calon. Jadi, agak berbeda nih,” kata Titi.
Dia juga menyebutkan terdapat ciri khas lain dari calon tunggal pada 2024, meskipun mulanya dia mengatakan pada 2015 calon tunggal diperbolehkan akibat putusan MK untuk menyelamatkan hak pilih, sedangkan pada 2024 terjadi praktik memborong tiket partai politik.
“Pada 2024, ditemukan karakter yang lebih khas dibandingkan 2015 sampai 2020 di mana sentralisasi pencalonan dan hegemoni pengurus pusat partai politik melalui rekomendasi dari DPP yang wajib itu membuat banyak ketidakpuasan di sejumlah daerah akibat adanya keterputusan aspirasi pencalonan,” ujarnya.