TEMPO.CO, Jakarta - DPR merencanakan untuk merevisi UU Pers No. 22 tahun 2022. Namun hingga kini RUU Penyiaran tersebut masih berstatus diharmonisasi oleh Baleg DPR RI. Akibat rencana tersebut DPR memanen kritik dari sejumlah tokoh nasional karena draft Undang-undang Penyiaran yang dinilai akan menghambat kerja jurnalis.
Pakar Ilmu Komunikasi Universitas Andalas (Unand), M.A. Dalmenda menanggapi bahwa UU kontroversial tersebut merupakan bentuk pembatasan kebutuhan informasi bagi masyarakat dan pelanggaran pers. Dalmenda juga mengatakan bahwa adanya Revisi UU Penyiaran merupakan upaya mengekang dan membatasi produk karya jurnalistik maupun kebebasan berekspresi di ruang publik dan membatasi penerimaan informasi yang informatif dan edukatif agar tidak terjadi kegaman informasi di tengah masyarakat.
Selain itu, lebih lanjut terdapat 4 poin yang disampaikan Dalmenda terkait kontroversi RUU DPR RI tentang UU penyiaran.
1. Membatasi Kebebasan Pers
Dalmenda juga menyorot spesifik salah satu pasal perubahan dalam undang-undang tersebut yang menurutnya akan menjadi konflik yang sangat krusial, yakni RUU yang menyoal Standar Isi Siaran (SIS) menurutnya RUU tersebut memuat larangan atas kemerdekaan pers.
“Menariknya, yang menjadi buah bibir publik dalam draf RUU Penyiaran adalah Pasal 50B ayat (2) huruf c yang menyebutkan, “Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:penayangan eksklusif jurnalistik investigasi,” kata Dalmenda.
“Upaya pelarangan terhadap penayangan jurnalisme investigasi yang tertuang di dalam draf RUU Penyiaran adalah pengekangan dan pelanggaran atas kemerdekaan pers. Sebab, jurnalisme investigasi merupakan karya jurnalistik yang menerbitkan berita bersifat invertigatif, atau sebuah penulusuran panjang dan mendalam terhadap sebuah kasus yang dianggap memiliki kejanggalan atau terjadinya kejahatan,” kata dia.
2. Tumpang Tindih Dewan Pers dan KPI
Menurut Dalmenda salah satu pasal dalam RUU Penyiaran tentang penyelesaian jurnalistik oleh KPI akan mengakibatkan terjadinya tumpang tindih dengan Dewan Pers.
3. Pertentangan Pasal 50B Ayat 2 dengan UUD 1945
Dalmenda menjelaskan bahwa Pasal 50B ayat (2) huruf c bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. “Pasal 50B ayat (2) huruf c bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyebutkan, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,” kata Dalmenda.
“Ini adalah bentuk penzaliman terhadap insan pers dan pengkhianatan luar biasa terhadap semangat kebebasan dalam berdemokrasi yang telah tertuang dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang intinya melindungi kerja-kerja jurnalistik serta menjamin pemenuhan hak masyarakat atas informasi atau adanya keterbukaan informasi publik,” ujarnya.
4. Harapan Kepada Dewan Pers untuk Mempertahankan Kebebasan Pers
Dalmenda juga berharap agar organisasi profesi wartawan dan Dewan Pers dapat mempertahankan fungsi pers sebagai kontrol sosial.
“Agar tidak terjadi multi tafsir dan pengekangan terhadap kebesan pers Saya berharap organisasi profesi wartawan dan Dewan Pers menjadi garda terdepan untuk menyuarakan ini sebagai fungsi sosial kontrolnya penyambung lidah rakyat,” ujar Dalmenda.
Penolakan terhadap Revisi UU Penyiaran juga terjadi di Kota Malang. Puluhan jurnalis berunjukrasa menolak Revisi UU Penyiaran di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang pada Jumat, 17 Mei 2024. Aksi dimulai dengan berjalan mundur dari depan Balai Kota Malang ke gedung DPRD Kota Malang. Jurnalis terdiri atas jurnalis anggota AJI Malang, PWI Perwakilan Malang Raya, IJTI Koordinator Daerah Malang dan PFI Malang
TIARA JUWITA I EKO WIDIANTO
Pilihan Editor: 3 RUU dalam Sorotan Publik: RUU Penyiaran, RUU MK, dan RUU Kementerian Negara