Pertama, ada indikasi upaya memotong pertanggungjawaban hukum aktor lain. Isnur mengungkapkan, dalam dakwaan para terdakwa ditemukan fakta hukum ada beberapa aktor yang memberikan perintah melakukan penembakkan gas air mata. Mereka antara lain Kasat Samapta Polres Malang kepada sekitar dua anggotanya, Danki III Brimob Polda Jawa Timur kepada sekitar sembilan anggotanya dan Danki Brimob Madiun kepada sekitar dua anggotanya.
“Tetapi anehnya, proses hukum yang berjalan tidak ikut menyeret anggota dari Kasat Samapta Polres Malang dan Danki III Brimob Polda Jawa Timur yang diperintah untuk melakukan penembakan gas air mata, termasuk kepada Danki Brimob Madiun dan anggotanya,” kata Isnur.
Berbagai keterangan puluhan aparat sebagai saksi mengaku jika hanya menembakkan gas air mata sebanyak satu kali ke bagian lapangan dan shuttle ban. Mereka mengaku tidak menembakkan gas air mata ke bagian tribun penonton.
“Kaburnya fakta penembakan gas air mata ke tribun penonton diperkuat dengan keterangan Terdakwa AKP Hasdarmawan pada 14 Februari 2023,” tutur Isnur.
Mereka menerangkan terdakwa Hasdarmawan memerintahkan anggotanya dua kali penembakan gas air mata keluar stadion, serta tidak melihat atau mengetahui adanya penembakan gas air mata dan proyektil yang jatuh ke bagian tribun penonton.
“Sehingga, kami menduga seperti ada upaya dari aparat penegak hukum untuk melindungi aktor lain atas tragedi yang terjadi,” ujar Isnur.
Namun demikian, Koalisi menilai aktor-aktor tersebut diduga hanyalah aktor lapangan saja. Padahal salam kasus ini, terdapat aktor timgkat tinggi yang seharusnya diproses hukum atau diselidiki lebih lanjut.
Kedua, Isnur menyebut keputusan makelis hakim yang menerima anggota Polri sebagai penasehat hukum dalam persidangan pidana merupakan keputusan yang tidak dapat dibenarkan. Sebab, keputusan tersebut bertentangan dengan Pasal 16 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mana dalam proses pidana, polisi tidak memiliki wewenang untuk melakukan pendampingan hukum di persidangan pidana.
“Profesi yang berhak mengenakan atribut toga dan melakukan pendampingan hukum dalam persidangan pidana adalah seorang advokat. Anggota Polri tidak dapat menggunakan atribut atau toga advokat,” tutur dia.
Di sisi lain, hal ini juga dapat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sehingga Koalisi Masyarakat Sipil menilai keputusan tersebut telah merusak dan melecehkan sistem hukum yang berlaku.
Ketiga, akses persidangan sempat dibatasi dan terdakwa sempat hanya dihadirkan secara daring. Isnur menuturkan langkah PN Surabaya yang sempat membatasi akses persidangan tragedi Kanjuruhan tidak tepat. Sebab, menurut Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman, mewajibkan bagi Majelis Hakim dalam setiap pemeriksaan di pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum.
Selain itu, sempat dihadirkannya terdakwa secara daring menyalahi ketentuan Pasal 154 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan terdakwa wajib hadir pada sidang pemeriksaan di pengadilan.
Terlebih lagi, Pemerintah telah mencabut kebijakan pemberlakuan dan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada Desember 2022 lalu, yang berarti tidak ada alasan hakim untuk dalam menghadirkan terdakwa secara online.
Selanjutnya proses sidang tak mengungkap utuh penembakan gas air mata...