Selain itu, ada juga narasi yang tampak menyudutkan supporter dengan adanya temuan 46 minuman keras oleh Polri. Kemudian, hal tersebut dibantah Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Malang, dengan menyatakan puluhan botol yang diduga minuman keras tersebut obat untuk hewan ternak atau obat untuk penyakit mulut dan kuku ternak.
Kedua, ada dugaan obstruction of justice. Berdasarkan laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) ada dugaan upaya kepolisian mengganti rekaman CCTV dengan rekaman yang baru dan CCTV yang ada di Stadion Kanjuruhan dilarang oleh aparat kepolisian untuk diunduh.
“Namun temuan ini tidak ditindaklanjuti secara serius oleh kepolisian dengan melakukan penyelidikan atau penyidikan,” ujar Fatia dalam keterangan tertulis, Selasa, 21 Maret 2022.
Ketiga, adanya ancaman kekerasan serta intimidasi secara langsung terhadap keluarga korban dan saksi. Salah satunya adalah adanya ancaman serta intimidasi secara langsung kepada salah satu keluarga korban Devi Atok sebelum dan pascapelaksanaan proses ekshumasi (autopsi) pada 5 November 2022 atas nama Natasya Deby Ramadhani dan Naila Deby Anggraini.
Selain itu, juga ditemukan upaya pelemahan secara sistematis terhadap perjuangan keluarga korban, saksi serta keluarga dalam menuntut keadilan.
“Hal tersebut berupa berbagai iming-iming bantuan usaha, fasilitas pengurusan SIM (surat Izin Mengemudi), bantuan pendidikan serta pendekatan lain yang bertujuan untuk mengaburkan orientasi proses hukum dalam pemenuhan keadilan dan hak korban,” ujarnya.
Keempat, rekonstruksi yang digelar 19 Oktober 2022 dilakukan di Lapangan Mapolda Jawa Timur dan tidak dilakukan di Stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang. Kejanggalan rekonstruksi terhadap terdakwa kepolisian yang ditemukan Koalisi Masyarakat Sipil, yakni dari 25 adegan rekonstruksi tidak memperlihatkan adegan penembakan gas air mata ke tribun penonton yang berimplikasi pada tidak utuhnya fakta peristiwa yang terjadi dalam proses penegakkan hukum
Selanjutnya selama proses peradilan, sejak penetapan enam tersangka pada 6 Oktober 2022, Kapolri Jenderal Listyo Sigit menetapkan Ahmad Hadian Lukita, Abdul Haris, Suko Sutrisno, AKP Hasdarmawan, Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan AKP Bambang Sidik Achmadi dengan jeratan pasal yang tergolong ringan dengan ancaman pidana maksimal di bawah 10 Tahun. Mereka dijerat dengan Pasal 359, 360 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 52 UU 11 Tahun 2022 Tentang Keolahragaan.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur menilai penegakan hukum tragedi Kanjuruhan hanya menyentuh aktor lapangan dan banyak sekali kejanggalan hingga sampai saat ini tersangka Ahmad Hadian Lukita belum disidangkan.
Selanjutnya temuan lain YLBHI...