Keempat, proses persidangan tidak mengurai atau mengungkap secara utuh terkait peristiwa penembakan gas air mata.
“Berdasarkan temuan kami saat melakukan pendalaman fakta, diketahui penderitaan suporter akibat penembakkan gas air mata tidak hanya dialami di dalam stadion tetapi juga di luar stadion,” kata Isnur.
Namun hal tersebut tidak diungkap secara menyeluruh dalam proses persidangan. Tidak terkecuali terkait CCTV, Jaksa juga tidak menampilkan hasil CCTV secara lengkap dan utuh dari berbagai sisi ketika peristiwa saat itu terjadi terutama pada eskalasi kematian massal.
“ Padahal terdapat 32 titik CCTV di area Stadion Kanjuruhan dan berbagai video amatir yang beredar di media massa,” ujar Isnur.
Kelima, intimidasi anggota Polri dengan membuat kegaduhan dalam proses persidangan pada 14 Februari 2023. Perilaku puluhan aparat Brimob tersebut merupakan bentuk dari penghinaan terhadap pengadilan (Contempt of Court) karena sikap tersebut merupakan perilaku tercela dan tidak pantas dilakukan di pengadilan. Aksi itu dinilai merupakan bentuk bentuk intimidasi dan unjuk kekuasaan yang dapat mempengaruhi proses persidangan.
Terkahir, temuan lainnya seperti Hakim dan Jaksa Penuntut Umum cenderung pasif dalam menggali kebenaran materil, minimnya keterlibatan saksi korban dan keluarga korban sebagai saksi dalam persidangan, hingga komposisi saksi didominasi oleh aparat kepolisian.
“Pendapat Koalisi Masyarakat Sipil yang didasari pada berbagai temuan tersebut, maka kami berpendapat bahwa proses hukum ini secara keseluruhan sama sekali tidak menunjukkan fakta sebenarnya yang dapat mampu mengungkapkan tragedi Kanjuruhan secara utuh dan jelas,” kata Isnur.
Koalisi menilai proses hukum juga diduga dirancang hanya untuk memberi penghukuman yang ringan terhadap pelaku dan melindungi aktor lain dari proses peradilan. Diberikannya vonis ringan dan putusan bebas terhadap sejumlah terdakwa merupakan bentuk pelecehan atas nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang selama ini diperjuangkan para korban.
“Proses peradilan ini juga dapat kami simpulkan sebagai bagian dari mata rantai impunitas terhadap sebuah tindak kejahatan,” kata Isnur.
Koalisi mengatakan minimnya upaya memberikan penghukuman maksimal terhadap berbagai aktor yang terlibat adalah langkah yang melumpuhkan kemungkinan proses peradilan sebagai instrumen yang memastikan masyarakat tidak akan menjadi korban kejahatan yang serupa dikemudian hari.
“Keputusan ini menjadi semacam lampu hijau bagi tindakan-tindakan pelanggaran hak asasi manusia di kemudian hari,” kata Isnur.
Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan gagalnya proses hukum dalam mengungkap fakta secara utuh di balik tragedi Kanjuruhan, dan tiadanya keadilan yang dirasakan bagi seluruh korban dan keluarga korban, merupakan bentuk pelanggaran terkait hak atas keadilan dan hak atas proses peradilan yang ‘fair’.
Padahal ini diatur oleh berbagai instrumen hak asasi manusia, seperti UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik hingga Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan.
Pilihan Editor: Vonis Sidang Kanjuruhan Menuai Kecaman dan Tangisan Keluarga Korban