TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil menyampaikan pandangannya mengenai kondisi Hak Asasi Manusia atau HAM di Indonesia kepada Persatuan Bangsa Bangsa. Penyampaian itu dilakukan dalam Pre-Session 4th Cycle of Universal Periodic Review untuk Indonesia pada 31 Agustus 2022 di ruang XII gedung PBB Palais de natisons.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Fatia Maulidiyanti dalam kesempatan itu menyampaikan bahwa Indonesia belum memiliki aturan lengkap tentang perlindungan pembela HAM. Akibatnya, kata dia, pembela HAM justru dianggap sebagai ancaman.
“Dibuktikan dengan data yang diperoleh KontraS selama lima tahun ke belakang, yaitu adanya 687 kasus kekerasan menimpa pembela HAM,” kata dia lewat keterangan tertulis, Kamis, 1 September 2022.
Fatia mengatakan kekerasan kepada pembela HAM yang terjadi kini banyak menjadi impunitas. Menurut dia, hal tersebut terjadi lantaran pelanggaran HAM di masa lalu tidak kunjung diselesaikan seperti Tragedi Paniai yang membunuh 4 orang dan melukai 21 lainnya.
Dia mengatakan tahun ini, tragedi tersebut akan dibawa ke Pengadilan HAM. Namun KontraS menyayangkan beberapa hal, di antaranya hanya terdapat satu tersangka, Kejaksaan Agung tidak melibatkan keluarga korban dan kelompok masyarakat sipil, dan lokasi pengadilan yang jauh dari lokasi keluarga. “Tentu hal ini akan berdampak pada partisipasi korban dan keluarga dalam mengakses keadilan,” kata dia.
Isu Kebebasan Berekspresi
Perwakilan Amnesty International Indonesia Marguerite Afra menyoroti isu kebebasan berekspresi dan kebebasan pers di Indonesia. Menurut Marguerite, kebebasan berekspresi tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Dia mengatakan 106 orang menjadi korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Begitupun kondisi kebebasan pers, dia mengatakan 43 jurnalis diserang selama 2021. ”Serangan tersebut termasuk penyerangan digital dan fisik, ancaman, dan kriminalisasi,” kata dia. Dia mengatakan akses jurnalis ke Papua dan Papua Barat masih sangat dibatasi.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto juga menyampaikan tentang kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia. Dia mengatakan pelanggaran dan kekerasan terhadap kebebasan berekspresi terus bertambah. Pelanggaran dan kekerasan itu, kata dia, terjadi pada penyampaian pendapat mengenai isu orientasi seksual, identitas, dan ekspresi gender.
Selain itu, dia menyampaikan bahwa pemerintah atau kekuasaan kerap menggunakan hukum seperti KUHP dan UU ITE untuk merepresi kebebasan berekspresi di ruang digital. “Belum lagi dengan keberadaan sejumlah pasal di RKUHP yang berpotensi terus mempersempit ruang kebebasan sipil, seperti pasal defamasi, penodaan agama, dan penghinaan pada presiden dan kekuasaan,” kata dia.
SAFEnet juga menyoroti represi atas akses Internet dalam bentuk pemblokiran aplikasi dan situs, serta Internet Shutdown, secara khusus di Papua dan Papua Barat. Begitu juga dengan serangan digital masif yang menarget ke pembela HAM dan mereka yang berseberangan pendapat dengan pemerintah.
Baca juga: KontraS Kecam Keterlibatan BIN dalam Sosialiasi RKUHP