TEMPO.CO, Jakarta - Tepat hari ini, 27 Juni 1994 silam, Penyair W.S. Rendra dan sejumlah aktivis ditangkap dan ditahan kala berdemonstrasi di depan kantor Departemen Penerangan atau Deppen di Jakarta. Rendra dan kawan-kawan melakukan aksi protes karena pemberedelan tiga media, yaitu Majalah Tempo, Tabloid DeTik, dan Editor, oleh pemerintah Orde Baru atau Orba.
Sebelumnya, pada 21 Juni 1994, pimpinan Majalah Tempo mendapat pemberitahuan terkait pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUP. Surat itu diberikan oleh Menteri Penerangan saat itu, Harmoko. Tak hanya Majalah Tempo, Tabloid DeTik dan Editor juga turut dibredel. Pemberedelan ini merupakan buntut dari berita yang diterbitkan Majalah Tempo edisi terbit 7 Juni 1994.
Berita tersebut mengkritik pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur seharga USD 12,7 juta menjadi USD 1,1 miliar. Edisi sebelumnya, Majalah Tempo mengungkapkan adanya pelipatgandaan harga kapal bekas sebesar 62 kali lipat. Kemudian pada 9 Juni 1994, Soeharto membuat pernyataan, “Ada pers yang mengeruhkan situasi dan mengadu domba. Ini gangguan pada stabilitas politik dan nasional. Kalau tak bisa diperingatkan, akan kita ambil tindakan.”
W.S. Rendra Protes Pembredelan Majalah Tempo, Detik dan Editor
Penangkapan W.S Rendra dan para aktivis lainnya saat melakukan aksi protes, adalah salah satu peristiwa yang menarik perhatian selama pemerintahan Orba. Kala itu, Rendra bersama anggota Bengkel Teater dan sejumlah aktivis, buruh, dan mahasiswa mengadakan aksi protes pemberedelan tiga media tersebut. Massa demonstrasi melakukan aksi secara damai. Mereka hanya duduk-duduk di depan Departemen Penerangan sembari menyanyikan lagu “Padamu Negeri.
Selain itu, Rendra bersama 20 anggota Bengkel Teater juga mengadakan aksi baca puisi. Namun tepat sesaat setelah Rendra membacakan puisinya, aparat keamanan kemudian menangkap dan menahan Si Burung Merak itu. Rendra ditahan dengan alasan yang tak masuk akal. Kapolda Metro Jaya kala itu, Mayjen (Pol) M. Hindarto, para demonstran itu melanggar hukum karena berkumpul di tempat umum tanpa adanya izin.
Hindarto menegaskan semua pedemo yang tertangkap di area Departemen Penerangan, akan dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. “Mereka melakukan tindak pidana melanggar ketentuan berkumpul di tempat umum lebih dari 5 orang tanpa izin tertulis dari Kapolda,” kata dia saat itu.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyampaikan protes terbuka atas perlakuan pemerintah Orba terhadap demonstran. Menurut YLBHI, tuntutan yang disampaikan masih dalam batas-batas yang dibenarkan UUD 1945 dan hukum yang berlaku. Untuk itu, YLBHI meminta pengunjuk rasa yang ditangkap segera dibebaskan.
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menerima laporan aduan penangkapan massa dari aliansi masyarakat anti pemberedelan pers. Menanggapi hal ini, Sekjen Komnas HAM ketika itu, Baharuddin Lopa menurunkan tim khusus untuk melakukan penyelidikan. Pasalnya, selain penangkapan, aliansi menyebutkan adanya pemukulan terhadap penunjuk rasa.
“Sesuai dengan mekanisme di Komnas HAM, maka kami harus turun ke lapangan untuk mengecek hal ini dari kedua belah pihak,” ujar Lopa, saat itu. “Kita adalah negara hukum, tidak boleh ada penangkapan dan penahanan tanpa ada surat perintah penahanan”.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca: 28 Tahun Lalu Majalah Tempo Dibredel, Hari ini Luncurkan Wajah Baru Tempo Digital
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.