TEMPO.CO, Jakarta - Ketua lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Violla Reininda, mempertanyakan sikap ngotot pemerintah ihwal jadwal pemungutan suara Pemilu 2024. Pemerintah berkukuh agar pemungutan suara pemilihan legislatif dan pemilihan presiden itu digelar pada 15 Mei 2024, berbeda dengan Komisi Pemilihan Umum yang mengusulkan tanggal 21 Februari.
"Yang perlu juga kita pertanyakan kenapa pemerintah itu ngotot sekali tanggal perhelatan pemilunya kapan," kata Violla dalam diskusi daring, Selasa, 12 Oktober 2021.
Jadwal Pemilu 2024 sedianya ditetapkan dalam rapat kerja Menteri Dalam Negeri, Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, dan penyelenggara pemilu pada 6 Oktober lalu. Namun, keputusan itu urung diambil lantaran para pihak belum satu suara.
Violla menilai, pemerintah dan DPR justru terkesan hendak mengintervensi KPU ihwal penetapan tanggal pemungutan suara. "Dalam hal ini pemerintah dan juga DPR terlalu banyak melakukan intervensi terhadap tanggal yang disampaikan oleh KPU," kata Violla.
Saat ini, setidaknya empat fraksi di DPR mendukung jadwal usulan pemerintah. Fraksi yang mendukung pemerintah ialah Fraksi Partai Golkar, Fraksi NasDem, Fraksi Gerindra, dan Fraksi Partai Amanat Nasional.
Sedangkan lima fraksi lainnya, yakni Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Demokrat cenderung setuju dengan usulan KPU.
Violla mengatakan, hingga saat ini ia belum melihat simulasi penjadwalan Pemilu 2024 yang diusulkan pemerintah. Di sisi lain, KPU telah membuat simulasi tentang tahapan-tahapan Pemilu 2024 dengan usulan pencoblosan pada 21 Februari.
Violla menilai perspektif KPU sangat penting dipertimbangkan dalam penetapan jadwal pemungutan suara. Sebab, lembaga tersebut yang akan melaksanakan dan merasakan beban penyelenggaraan pemilu.
Dia juga mengingatkan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur bahwa KPU berwenang menetapkan tahapan dan jadwal pemilihan umum. Ia mempertanyakan mengapa pemerintah tak mempercayakan saja perhitungan penjadwalan itu kepada Komisi Pemilihan.
"Semestinya baik pemerintah maupun DPR itu mempercayakan saja kepada KPU," ucapnya.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Mutaqim, mengatakan ada tiga kerangka hukum yang menjamin kemandirian KPU. Pertama, Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa "pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri."
Kedua, Pasal 167 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017, yang intinya telah disinggung oleh Violla. Ketiga, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92 Tahun 2016. Komisioner KPU ketika itu menguji materi satu ketentuan dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menyebutkan bahwa konsultasi Komisi Pemilihan dengan pemerintah dan DPR dalam membuat peraturan bersifat mengikat.
"MK dengan putusannya membatalkan ketentuan yang diatur UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang adanya konsultasi dalam PKPU yang mengikat dengan DPR dan pemerintah," kata Heroik dalam diskusi yang sama. Ketiga hal tersebut, kata dia, memperkokoh dimensi kemandirian KPU dalam membangun tata kelola pemilihan umum di Indonesia.
Meski kewenangan ada pada mereka, Violla Reininda mengaku memahami alasan KPU tak bisa serta-merta menetapkan jadwal Pemilu 2024. Ia menduga KPU mendapatkan tekanan politik, baik dari pemerintah maupun DPR, ihwal penentuan tanggal pemungutan suara ini.
"Bisa jadi karena ada tekanan politik baik dari DPR maupun pemerintah untuk menghasilkan kesepakatan dan kesepahaman mengenai jadwal pemilu," ujarnya.
Violla mengatakan, polemik penetapan tanggal pemilu 2024 ini tak terlepas juga dari masalah anggaran. Pembiayaan perhelatan politik akbar itu bagaimana pun akan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang penetapannya merupakan wewenang pemerintah dan DPR.
Baca juga: Perludem Sebut KPU Jadi Otoritas Utama Penentu Jadwal Pemilu 2024