TEMPO.CO, Situbondo - Tak hilang dari ingatan Wafil, 37 tahun, bagaimana ayahnya begitu melarangnya untuk ikut-ikutan bekerja di kebun. Sang ayah menganggap kalau kondisi kaki anaknya itu tidak memungkinkan untuk membantunya mengurus kebun mereka. “Ingatan itu masih membekas meski sudah 30 tahun lalu,” kata Wafil, penyandang disabilitas daksa kepada Tempo, Selasa siang, 7 September 2021.
Namun, saat ini, keadaannya sudah berubah. Wafil telah ikut mengelola dua bidang pekarangan, sebuah unit usaha produksi pupuk cair, dan green house pembibitan tanaman sayur. Ditemui Tempo di tempat kerjanya siang itu, pemetik bass sebuah grup orkes dangdut di Kabupaten Situbondo ini sedang menerima beberapa tamu dari penyuluh pertanian.
Seorang di antaranya tengah melihat kemasan botol serta hasil produksi pupuk cair. Kelompok Disabilitas Desa atau KKD Dusun Balung sempat mendapatkan pelatihan membuat pupuk organik. Kebetulan, di desa setempat banyak tersedia bahan untuk pembuatan pupuk organik mulai dari gedebok pisang, sebagai bahan pupuk vegetatif untuk pertumbuhan daun. Banyak tersedia pula kotoran kambing di kandang-kandang warga setempat untuk pupuk generatif.
"Kotoran kambing itu sebagai bahan pupuk generatif untuk pertumbuhan buah," kata Ketua KDD Desa Balung, Fronicha Kuswandi atau biasanya disapa Nicha. Mereka juga membuat pestisida nabati dari daun limbo, lengkuas, dan sereh.
Setiap bulan, kelompok ini bisa memproduksi 160 liter pupuk cair. Sebanyak 60 liter untuk memenuhi kebutuhan kelompok dan sisanya untuk memenuhi pesanan luar. Setiap bulan sudah ada yang memesan sebanyak 100 liter. Mereka menjual 35 ribu per botol. Pesanan pupuk cair ini datang dari mana-mana. "Ada dari Jakarta dan Belitung yang pesan pupuk cair ini kepada kami," kata Nicha.
Dalam pembuatan pupuk cair, mereka juga sempat beberapa kali mengalami kegagalan. "Ada proses fermentasi dalam pembuatannya. Terkadang lupa membuka, sehingga meledak. Kadang-kadang anggota takut. Tapi sekarang sudah mendapat pengetahuan baru sehingga tidak terjadi," katanya.
Sutikno, penyuluh pertanian di desa, mengatakan ketika KDD mencetuskan program ketahanan pangan saat menghadapi pandemi Covid-19, hal pertama yang ditekankan adalah motivasi. "Bagaimana mereka bisa bertahan di saat pandemi, di tengah banyak cerita usaha kolaps dan gulung tikar," ujar Sutikno.
Namun, di sektor pertanian relatif tidak banyak terpengaruh. "Pertanian tidak banyak terpengaruh. Mungkin karena faktor kebutuhan pangan, yang dalam situasi apapun selalu dibutuhkan," katanya.
Sutikno mengatakan bahwa tidak ada alasan tidak punya lahan. "Pertanian itu dari hulu hingga hilir, punya lahan bukan jaminan. Yang penting bagaimana memanfaatkan lahan yang ada," katanya.
Kemudian, Sutikno juga menyampaikan arahannya bagaimana mereka untuk tetap bisa bertahan sebagai petani di tengah tekanan yang ada. Tekanan itu terkait ketersediaan pupuk yang terbatas.
Dia juga menyampaikan ihwal kecenderungan masyarakat yang mengkonsumsi makanan yang tidak sehat. "Makanan yang kita konsumsi saat ini sudah banyak terkontaminasi bahan kimia. Kesehatan masyarakat menurun, banyak penyakit kronis. Penyebabnya ya, makanan yang kita konsumsi," katanya.
Karena itu, ia mencoba mengenalkan kepada KDD bagaimana bertani dengan mengurangi penggunaan bahan kimia. "Syukur-syukur bisa organik full, mengurangi pestisida dan kalau bisa zero pestisida. Prosesnya bertahap," kata Sutikno.
KDD juga mendapat pengetahuan bagaimana penggunaan mikroorganisme. "Kami mengenalkan ihwal agensia hayati atau mikro organisme lokal. Bagaimana mengembangbiakkan mikroorganisme yang menguntungkan tanaman. Bahannya murah dan mudah, karena bisa diperoleh dari sekitar kita," katanya.
Kemudian membuat ECO enzim dengan konsep yang sama. "Kemudian kita ajarkan juga soal PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobakteri) atau Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman," katanya.
Untuk KDD di Desa Balung, ia mencontohkan, bagaimana mengelola bakteri yang ada di perakaran bambu. "Kenapa perakaran bambu. Karena tanaman yang paling cepat pertumbuhan tingginya adalah bambu. Kita tahu kelapa itu tinggi. Tetapi kalau dibandingkan bambu, kalau kita tanam kelapa bersamaan dengan rebung, maka perbedaannya akan jauh lebih cepat rebung. Itu berarti disitu ada rahasia. Mikroba itu yang bisa mendorong," katanya.
Sumber daya bambu di Desa Balung cukup melimbpah sehingga tidak perlu membeli. "Ambil sedikit saja karena kebutuhannya tidak banyak. Karena yang akan kita jadikan adalah biangnya. Biang mikrobanya diperbanyak," kata dia.
Kelompok Disabilitas Desa di Desa Balung ini telah menunjukkan bahwa mereka dapat mengadopsi serta menyerap pengetahuan yang telah disampaikan dalam sejumlah pelatihan. "Sudah kami berikan dan mereka langsung praktikkan. Dan mereka benar-benar mendapatkan uang dari sini," katanya.
Baca juga: Kisah Kelompok Disabilitas Desa di Situbondo: Menyemai Asa di Tengah Pandemi