TEMPO.CO, Jakarta - PDIP tetap mengusulkan revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tetapi tanpa mengubah jadwal Pilkada Serentak pada 2024. Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mengatakan revisi UU Pemilu diperlukan untuk memperbaiki sistem kepemiluan agar lebih baik.
"Untuk pilkada kami tetap, lakukan di 2024, tapi kami membuka peluang untuk revisi UU Pemilu. Mari kita sempurnakan itu supaya lebih berkualitas pemilu kita," kata Djarot dalam acara rilis hasil sigi Lembaga Survei Indonesia, Senin, 22 Februari 2021.
Djarot mengatakan revisi diperlukan salah satunya menyangkut sistem perhitungan dan rekapitulasi suara secara elektronik. Berkaca dari Pemilu Serentak 2019, kata dia, banyak petugas yang kelelahan karena sistem perhitungan suara dan rekapitulasi masih dilakukan manual.
Selain itu, Djarot mengatakan beberapa hal lainnya juga perlu dievaluasi, misalnya ambang batas parlemen (parliamentary threshold). PDIP diketahui mengusulkan adanya kenaikan ambang batas parlemen dari 4 persen menjadi 5 persen untuk Dewan Perwakilan Rakyat, 4 persen untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat provinsi, dan 3 persen untuk DPRD kabupaten/kota.
Menurut Djarot, usulan kenaikan ambang batas parlemen ini demi konsolidasi demokrasi sehingga jumlah partai politik peserta pemilu tak terus-menerus berubah dari satu pemilihan ke pemilihan berikutnya. Meski begitu, ia mengklaim bukan berarti tak boleh ada partai politik baru.
"Apakah orang tidak boleh mendirikan partai politik? Boleh, itu hak setiap warga negara untuk berserikat dan berkumpul, tetapi apakah partai politik itu bisa ikut pemilu itu lain persoalan," ujar dia.
Berikutnya, Djarot juga menyebut perlunya evaluasi penentuan besarnya daerah pemilihan atau district magnitude. Saat ini jumlah kursi setiap dapil ialah tiga hingga sepuluh kursi. Kata dia, ada perhitungan tersendiri jika sistem district magnitude ini akan dipersempit.
Baca: Jokowi Tolak Revisi UU Pemilu, PKS Sebut Ada Invisible Hand
PDIP juga mengusulkan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Artinya, pemilih hanya akan mencoblos partai politik, bukan lagi mencoblos calon anggota legislatif. Menurut Djarot, sistem proporsional terbuka menyebabkan banyak calon berlomba-lomba melakukan praktik politik uang sehingga politik menjadi berbiaya mahal.
"Sehingga proses kaderisasi di partai menjadi terhambat karena munculnya orang-orang baru, muncul karena dia punya uang, akhirnya nyaleg," ujar anggota Komisi II DPR ini.
Menurut Djarot, sikap PDIP ini juga secara konsisten disampaikan di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat. Fraksi PDIP menyetujui revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tetapi jadwal pilkada tetap digelar pada 2024.
Djarot mengatakan, saat ini PDIP menjalin komunikasi dengan fraksi-fraksi yang ada di DPR terkait kelanjutan revisi UU Pemilu ini. "Kami buka komunikasi yang baik, baik antara partai-partai pendukung pemerintah maupun teman-teman dari PKS, Demokrat, untuk menyamakan persepsi," kata Djarot.
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan fraksi-fraksi sudah berkomunikasi terkait revisi UU Pemilu. Menurut politikus Gerindra ini, kemungkinan besar revisi UU Pemilu akan ditarik dari daftar Program Legislasi Nasional 2021. "Berdasarkan hasil komunikasi kami dengan seluruh pimpinan fraksi-fraksi, RUU Pemilu kemungkinan besar akan didrop dari Prolegnas," kata Supratman dalam forum yang sama.