TEMPO.CO, Jakarta - Rencana perhelatan Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2024 terus menuai polemik. Fraksi di DPR, pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga organisasi masyarakat sipil berbeda sikap soal rencana tersebut.
Sesuai dengan UU Pilkada, pemilihan kepala daerah akan digelar serentak dengan pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) tahun 2024. Namun, beberapa partai mengusulkan perubahan ini lewat revisi UU Pemilu.
Dalam draf revisi UU Pemilu, Pilkada akan tetap digelar pada 2022 dan 2023, mengikuti siklus lima tahunan setelah Pilkada 2017 dan 2018. Kemudian, Pilkada serentak baru akan digelar pada 2027.
Baca: Jokowi Ingin Pilkada 2024, Dipersiapkan untuk Gibran?
Dari sinilah muncul dua kubu, pro revisi UU Pemilu dan kontra revisi UU Pemilu. Tempo merekam perdebatan dan dinamika yang terjadi terkait isu ini.
Pro revisi UU Pemilu
1. Demokrat: Menjegal Tokoh Politik
Partai Demokrat melihat ada upaya dari kelompok tertentu yang memaksakan Pilkada 2024 untuk kepentingan pragmatis. "Misalnya, mau menjegal tokoh-tokoh politik yang dianggap potensial sebagai capres," kata Kepala Badan Komunikasi Publik DPP Partai Herzaky Mahendra Putra dalam keterangannya, Rabu, 27 Januari 2021.
2. PKS: Perbaikan Demokrasi
Sementara, Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini menilai revisi UU Pemilu harus terus jalan untuk memperbaiki kualitas demokrasi melalui penyelenggaraan pemilu.
"Kami melihat ada kebutuhan dan kepentingan revisi UU Pemilu, yaitu untuk perbaikan kualitas demokrasi hasil evaluasi kita atas penyelenggaraan pemilu lalu," ujar Jazuli dalam keterangannya, Minggu 7 Februari 2021.
3. Puskapol UI: Politik Jangka Pendek
Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Delia Wildianti juga mendorong revisi UU Pemilu. Tapi dari dinamika sejauh ini, Ia melihat kontestasinya baru soal kepentingan politik jangka pendek. "Kami belum melihat ada kehendak memperbaiki tata kelola pemilu secara keseluruhan," kata Delia dalam diskusi pada Ahad, 31 Januari 2021.
4. Perludem: Kompleksitas Jadwal
Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini Pilkada 2024 akan menciptakan irisan tahapan. Pertama. tahapan pemilu (Pilpres Pileg) 2024 dimulai Agustus 2022.
Kedua, tahapan Pilkada 2024 dimulai November 2023. Padahal, April 2022 akan dilakukan pergantian KPU dan Bawaslu yang seleksinya dimulai Oktober 2021.
"Dari ilustrasi jadwal bisa membayangkan kompleksitas apa yang dihadapi dari sisi personalia maupun tata kelola teknis pemilunya," kata dia.
Kontra revisi UU Pemilu
1. Jokowi: Stabilitas Politik
Salah satu pendukung utama Pilkada tetap digelar 2024 adalah Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko mengatakan stabilitas politik dan keamanan menjadi pertimbangan Jokowi.
"Sehingga agenda pembangunan dapat berjalan sesuai yang direncanakan dan untuk kesejahteraan rakyat," kata Moeldoko kepada Tempo, Sabtu, 30 Januari 2021.
2. Nasdem, Golkar, PKB Berubah Sikap
Di DPR, hanya tersisa Demokrat dan PKS yang mendukung revisi UU Pemilu. Sisanya menolak revisi. Tapi, ada tiga partai yang awalnya mendukung revisi, kini berbalik arah menolak. Ketiganya adalah partai pendukung pemerintah Jokowi, yaitu Nasdem, Golkar, dan PKB.
Ketua Umum NasDem, Surya Paloh, misalnya, beralasan Indonesia tengah berjuang menghadapi pandemi Covid-19 dan memulihkan ekonomi. Sehingga, kata dia, partai-partai pendukung pemerintah perlu tetap solid untuk mendukung upaya pemulihan ini.
"Cita-cita dan tugas NasDem adalah sama dengan Presiden, yakni untuk kemajuan dan masa depan bangsa yang lebih baik," kata Surya Paloh dalam keterangan tertulis, Jumat malam, 5 Februari 2021.
Respon Penyelenggara
1. KPU: Sangat Berat
Pelaksana tugas Ketua KPU RI Ilham Saputra mengakui penyelenggaran Pilkada 2024 bakal sangat berat. Ia berkaca pada pengalaman Pemilu 2019 yang digelar serentak dan membuat banyak petugas berguguran. "Yang berimplikasi kepada hilangnya jiwa mereka," kata Ilham Saputra di Jakarta, Selasa 2 Februari 2021.
2. Bawaslu: Harus Dipisah
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja merekomendasikan Pilpres dan Pileg tak disatukan dengan Pilkada 2024. "Menurut saya harus ada pemisahan pilkada dan pemilu, karena penyelenggara juga harus menjaga napasnya. Kalau disatukan di satu tahun pasti akan jadi persoalan tersendiri," kata Bagja dalam sebuah diskusi daring, Ahad, 31 Januari 2021.
FAJAR PEBRIANTO