TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Arteria Dahlan mengatakan masuknya Joko Tjandra masuk ke Indonesia tidak masuk akal.
"Negara tidak boleh kalah oleh kekuasaan, tidak boleh kalah dengan pengusaha. Sangat tidak masuk akal sehat Joko Tjandra bisa datang ke pengadilan untuk peninjauan kembali," kata Arteria di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, pada Senin, 6 Juli 2020.
Arteria mengatakan, Komisi Hukum menaruh perhatian serius terhadap kasus Joko. Apalagi, Joko merupakan seorang buronan antarnegara yang memerlukan kerja sama Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, hingga Polri, untuk menangkapnya.
"Joko Tjandra itu sudah namanya DPO atau buronan. Artinya demi hukum, ini kan semuanya hadir, imigrasinya hadir, Intel Kejaksaan juga hadir, teman-teman di kehakiman juga hadir. Kan nggak pantas banget orangnya lari, tapi mengajukan PK," ucap Arteria.
Joko merupakan terdakwa kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar yang ditangani Kejaksaan Agung. Pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000, Kejaksaan pernah menahan Joko.
Namun, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan perbuatan pidana melainkan perdata.
Pada Oktober 2008, Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali (PK) kasus Joko ke Mahkamah Agung. Pada 11 Juni 2009, Majelis Peninjauan Kembali MA menerima PK yang diajukan jaksa.
Majelis hakim memvonis Joko 2 tahun penjara dan harus membayar Rp 15 juta. Uang milik Joko di Bank Bali sebesar Rp 546,166 miliar disita untuk negara. Imigrasi juga mencekal Joko.
Joko Tjandra kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini pada 10 Juni 2009, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkaranya. Kejaksaan menetapkan Joko sebagai buronan. Belakangan, Joko diketahui kembali masuk ke Indonesia untuk mendaftarkan PK ke PN Jakarta Selatan.