TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan peraturan yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung tidak berkekuatan hukum mengikat. Artinya, kata dia, Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang menetapkan perubahan tarif BPJS Kesehatan tidak dapat digunakan.
"Pasal 31 Undang-Undang tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, artinya dia tidak dapat digunakan lagi, termasuk tidak boleh dibuat lagi," kata Feri saat dihubungi, Kamis 14 Mei 2020.
Feri mengatakan tidak boleh lagi ada peraturan yang bertentangan dengan putusan MA, karena itu sama dengan menentang putusan peradilan. Jika hal tersebut disengaja, kata dia, presiden bisa bahaya karena itu dapat menjadi alasan sebagai pelanggaran konstitusi.
Putusan No 7/P-HUM/2020 itu, kata Feri, tidak menghendaki problematika keuangan BPJS dibebankan kepada peserta. “BPJS dianggap perlu membenahi manajemen, fraud dan kecurangan peserta."
Putusan MA itu juga melarang kenaikan di tengah dampak ekonomi global. Sama seperti saat ini di tengah bencana Covid-19, ekonomi semua orang tengah bermasalah. Maka menurut dia, negara telah mengabaikan perintah putusan peradilan itu.
Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020. Beleid itu salah satunya menetapkan perubahan tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan untuk peserta bukan penerima upah atau peserta mandiri.
Berdasarkan beleid itu, tarif iuran BPJS Kesehatan untuk kelas mandiri antara lain Kelas I sebesar Rp 150 ribu per orang per bulan, Kelas II Rp 100 ribu, Kelas III Rp 25.500 dan menjadi Rp 35 ribu pada 2021. Tarif itu berlaku mulai Juli 2020.
FIKRI ARIGI | CAESAR AKBAR