TEMPO.CO, Jakarta - Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mendorong agar pemerintah daerah dilibatkan dalam pembahasan omnibus law. Mereka menegaskan bahwa pemda adalah bagian tak terpisahkan dari penerapan omnibus law di lapangan.
Direktur Eksekutif KPPOD Robert Na Endi Jaweng, mengatakan dari hasil studi dan dialog KPPOD dengan pemda, pendekatan yang dilakukan terkait omnibus law memang harus campuran. Pemerintah pusat saat ini, kata dia, hanya mengatur dari sisi regulasi.
"Tapi sesungguhnya praktik perizinan di daerah. Yang merasakan izin usaha adalah daerah. Maka perlu ditanyakan satu daerah itu ada berapa izin sih," kata Robert saat ditemui di diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Ahad, 15 Desember 2019.
Jika pendekatan dilakukan secara sepihak seperti sekarang, Robert mengatakan akan ada izin-izin di tingkat daerah yang luput dari deregulasi di pusat. Ia mencontohkan keberadaan surat keterangan domisili usaha (SKDU) yang tidak ada aturannya tingginya di tingkat pusat. Karena itu, Robert mengatakan jika pemerintah pusat berpatok pada legalistik, hal semacam ini akan luput dari perhatian.
"Jadi buka dialog berbasis pada fakta di lapangan, dan itu dokumen harus transparan. Jadi asosiasi pemda maupun lewat pemda itu sendiri itu ikut dalam proses," kata Robert.
Ia mengingatkan keterlibatan pemda di omnibus law ini sangat diperlukan agar kasusnya tak sama dengan pembuatan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, atau soal Online Single Submission (OSS). Pembahasan PP ini tak melibatkan daerah, padahal pelaksanaannya di daerah.
"Pemda tidak diajak ngomong, kemudian implikasinya besar bagi pemda yg membuat mereka entah ogah-ogahan. Entah enggak siap sehingga yang jalankan OSS sangat sedikit," kata Robert.