TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dari Fraksi PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) Ahmad Basarah menolak amandemen UUD 195 yang mengutak-atik masa jabatan presiden - wakil presiden.
Basarah menilai tak perlu ada yang diubah dari masa jabatan presiden yang sudah berlaku saat ini, yakni 2x5 tahun.
"Sudah sejak dulu masa jabatan lima tahun. Itu sudah cukup untuk mewujudkan konsepsi pembangunan di janji politik," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 21 November 2019.
Menurut dia, PDIP berpendapat bahwa acuan amandemen UUD 1945 adalah rekomendasi MPR periode 2014-2019.
Sebelumnya, Wakil Ketua MPR dari PPP, Arsul Sani, mengatakan ada usulan opsi perubahan masa jabatan presiden menjadi 3x5 tahun, 1x8 tahun, atau 2x5 tahun tak berturut-turut.
Dia meminta setiap usulan itu tak disikapi secara berlebihan.
Ahmad Basarah, yang juga Ketua PDIP, juga berpendapat bahwa MPR belum pernah membahas perubahan masa jabatan presiden sebab memang bukan kebutuhan yang mendesak.
Basarah menjelaskan haluan negara -- yang diupayakan nuncul lagi oleh PDIP -- akan memastikan kesinambungan pembangunan nasional. Maka memperpanjang masa jabatan presiden dengan alasan memastikan program-program pemerintahan terlaksana tidaklah relevan.
"Masyarakat tidak perlu khawatir, siapa pun presiden, gubernur, wali kotanya. Karena pembangunan nasional berkelanjutan."
Usulan perubahan konstitusi itu awalnya disampaikan dengan tujuan mengembalikan kewenangan MPR untuk menetapkan haluan negara.
Ahmad Basarah menyatakan pembahasan pada periode 2019-2024 harus lebih dahulu melalui Badan Pengkajian MPR. Tapi, Badan Pengkajian MPR belum terbentuk hingga kini.
Dia meminta para koleganya di MPR berfokus pada rekomendasi yang sudah disepakati dan bersabar menunggu hasil kajian Badan Pengkajian MPR.