TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, menilai pemberhentian Kolonel Kavaleri Hendi Suhendi sebagai Komandan Kodim (Dandim) 1417 Kendari, sebagai langkah yang berlebihan. Ia menyebut TNI AD terlalu bertendensi menakut-nakuti yang lain.
"Hukuman disiplin militer itu mestinya dilakukan diantaranya berdasarkan asas pembinaan dan praduga tak bersalah. Artinya, harus dilakukan pemeriksaan yang cukup dan dilakukan dalam kerangka pembinaan personil," kata Khairul saat dihubungi Tempo, Senin, 14 Oktober 2019.
Hendi dan satu anggota TNI AD lain terkena sanksi pencopotan jabatan dan hukuman kurungan 14 hari, setelah istri mereka diketahui membuat cuitan bernada menyindir di media sosial. Sindiran itu dibuat setelah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto ditikam di Menes, Pandeglang, Banten.
Khairul menilai hukuman terhadap Hendi termasuk ke dalam kategori berat. "Apalagi belum ada upaya hukum apapun yang dilakukan pada si isteri, yang diduga melakukan pelanggaran hukum terkait komentarnya di medsos," kata Khairul.
Khairul mengatakan dalam militer, ada interpretasi, bahwa secara ekstensif isteri merupakan ‘bawahan’ dari pimpinan institusi. Hal tersebut misalnya nampak dalam pengurusan pernikahan.
"Termasuk ditunjukkan dengan penerimaan sebagai warga organisasi istri prajurit, yang berarti istri juga dianggap menjadi bagian dari hubungan atasan-bawahan alias subordinat dalam lingkungan TNI," kata Khairul.
Hal ini yang kemudian kerap diterjemahkan bahwa anggota TNI harus ikut bertanggung jawab atas perilaku suami/istri mereka secara institusi. Khairul mengakui hukuman ini memberi efek jera serta sebagai pesan yang sangat kuat dan tegas pada personel-personel lainnya beserta keluarganya agar lebih berhati-hati di media sosial.
"Lalu apakah kemudian ini hukuman yang setimpal? Saya kira ini berlebihan dan bertendensi menakut-nakuti yang lain," kata Khairul.