TEMPO.CO, Jakarta - Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) menyatakan keberatan dengan Bab VI tentang tindak pidana terhadap proses peradilan atau contempt of court dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Mereka menilai kekuasaan hakim terlalu besar, dan perlindungannya sudah diatur dalam regulasi lain.
“Yang harus dilindungi adalah potensi hakim menyalahgunakan kekuasannya ini. Kalau kekuatannya yang absolut itu disalahgunakan, maka hancurlah peradilan kita,” ujar Ketua Peradi, Luhut Pangaribuan, dalam diskusi di Tjikini Lima Resto, Cikini, Jakarta, Selasa 3 September 2019.
Luhut mengatakan dalam sistem peradilan Indonesia, hakim memiliki kekuasaan absolut. Hakim, kata dia, berwenang menentukan fakta dan menentukan hukuman. Hal ini ia khawatirkan memunculkan penyalahgunaan kekuasaan oleh hakim. “Itu jadi ekses kekuasaan absolut yang tidak mereka jalankan seperti seharusnya,” kata dia.
Luhut menyatakan menentang Pasal 281, yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, setiap orang yang:
a. tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
Baca Juga:
b. bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
c. secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.”
Selain Peradi, dalam diskusi tersebut hadir pula Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), dan Indonesia Legal Network (ILN). Mereka menyatakan sikap yang sama, menentang penguatan kekuasaan hakim dalam sidang.