TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan (JKP3) mengecam pihak-pihak yang menyebut Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pro terhadap perzinaan. Menurut dia, RUU yang bermula dari gagasan masyarakat dan naik menjadi usulan DPR ini sama sekali tidak membahas terkait hal itu.
Baca: Ada Anggota Komisi Agama DPR Setuju Petisi Tolak RUU PKS
Koordinator JKP3, Ratna Batara Munti, menilai keberadaan petisi menolak RUU PKS di situs change.org menunjukkan sikap yang tidak bertanggung jawab dan melukai korban kekerasan seksual. Ia beralasan berangkat dari pengalaman para korban lah RUU ini muncul.
""RUU PKS lahir dari pengalaman korban yang mengalami penderitaan berkepanjangan tanpa mendapatkan keadilan dan pemulihan, karena belum ada payung hukum bagi kasusnya," kata Ratna dalam konferensi pers Melawan Hoax RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Kantor LBH Jakarta, Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta, Rabu, 6 Februari 2019.
Ia mencontohkan banyak kasus yang tidak dapat diproses karena dianggap kurang alat bukti. Ini akibat syarat alat bukti di dalam peraturan perundangan yang sudah ada belum mengakomodasi situasi khusus korban kekerasan seksual.
"Sehingga dengan RUU PKS yang telah menjadi inisiatif DPR RI ini diharapkan akan memberi akses keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual serta pencegahannya," ujarnya.
Secara substansial, kata Ratna, JKP3 mencatat ada lima isu penting dalam RUU PKS yang luput dari diskursus yang berkembang di masyarakat. Pertama, RUU ini mengisi kekosongan hukum terkait bentuk-bentuk kekerasan seksual yang selama ini tidak diakui oleh hukum.
Baca: DPR Diminta Segera Selesaikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Ia menjabarkan ada sembilan bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam RUU PKS, yakni: pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Kedua, menurut Ratna, RUU PKS memuat prosedur hukum termasuk sistem pembuktian yang sensitif dan memperhitungkan pengalaman korban. Ketiga, RUU PKS mengatur penanganan hukum yang terpadu dan terintegrasi dengan semua layanan bagi korban.
Keempat, RUU PKS mengakui dan mengedepankan hak-hak korban serta menekankan kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak korban.
Kelima, RUU ini menekankan perubahan kultur masyarakat dalam memandang kekerasan seksual dengan membangun kesadaran masyarakat untuk mencegahnya melalui pendidikan, kebudayaan sosial, ekonomi, dan politik.
Baca: Menteri PPPA akan Dorong RUU PKS Selesai sebelum Pergantian DPR
Sebelumnya, pada 27 Januari 2019 muncul sebuah petisi di change.org yang digagas oleh Maimon Herawati. Ia mengajak untuk menolak RUU yang disebutnya sebagai RUU pro zina. Sejak pertama kali diluncurkan hingga berita ini dibuat, petisi ini sudah mendapatkan dukungan 149.402 tanda tangan.