TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti LIPI Nostalgiawan Wahyudi menuturkan, pemerintah di masa mendatang harus mulai memikirkan pendekatan psikologi dan sosiologi dalam penanggulangan terorisme.
Baca juga: Sepanjang 2018, Kominfo Blokir 295 Situs Konten Terorisme
Dua metode pendekatan itu perlu dilakukan agar pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tidak terus terjadi. "Sebab, yang selama ini pemerintah lakukan hanya pendekatan secara fisik," kata Nostalgiawan di kawasan Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat pada Senin, 14 Januari 2019.
Pemerintah, kata Nostalgiawan, harus cermat menyusun kurikulum atau strategi ketika menyiapkan pendekatan psikologi dan sosiolog. Padahal dua metode pendekatan itu bisa menjadi bekal para mantan narapidana terorisme (napiter) supaya siap turun kembali ke lingkungannya.
"Karena selama mereka di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas), pemerintah dapat lebih mudah mengontrol mereka. Tapi kalau sudah bebas bagaimana? Makanya pendekatan itu penting," kata Nostalgiawan.
Baca Juga:
Baca juga: BNPT Waspadai Pergerakan Sel Terorisme Menjelang Pemilu 2019
Selain itu, ketika seorang teroris dipenjara dan meninggalkan keluarga, maka akan timbul masalah ekonomi dan intimidasi sosial. Diakui Nostalgiawan, para napi terorisme ini butuh jaminan oleh pemerintah bahwa keluarganya tidak akan kekurangan apapun selama ia mendekam. Baik dari segi ekonomi maupun intimidasi sosial.
Namun, nyatanya tidak demikian. Alhasil, tak jarang ada napi terorisme yang kembali ke kelompok atau jaringan teroris asalnya. "Kalau mereka balik, keluarga mereka dijanjikan akan terjamin. Timbul gejolak batin. Meski mereka tahu kalau mereka balik itu salah," kata Nostalgiawan.