TEMPO.CO, Jakarta - Bagi sebagian masyarakat muslim di Indonesia, hari ini merupakan peringatan hari Rabu Wekasan. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas mengatakan Rabu Wekasan merupakan sebuah tradisi ritual yang dilaksanakan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.
“Gunanya untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT dari berbagai macam malapetaka yang akan terjadi pada hari tersebut,” kata Robikin kepada Tempo pada Rabu siang, 6 November 2018.
Baca: Tepat di Rabu Wekasan, Puncak Festival Mandi Safar di Jambi
Menurut Robikin, masyarakat kerap menghubungkan momentum bulan Safar dan Rabu Wekasan ini dengan sejumlah peristiwa kebencanaan. Atas anggapan itu, Robikin memastikan bahwa hal tersebut hanya kebetulan.
Ia mencontohkan peristiwa angin topan yang menimpa kaum Aad di zaman Nabi Hud. Kejadian itu tidak bisa dianggap mewakili isyarat kesialan atau kebencanaan yang akan terjadi di bumi. Sebab, tidak terus-menerus bencana datang saat Rabu Wekasan.
Pada masa Rabu Wekasan maupun bulan Safar, kata Robikin, banyak peristiwa baik yang terjadi. Misalnya, penemuan air zamzam di Masjidil Haram dan penemuan sumber air oleh Sunan Giri di Gresik, Jawa Timur. Sementara itu, terkait cuaca buruk yang acap terjadi berbarengan dengan bulan Saafar, ia mengatakan hal itu murni siklus tahunan.
Baca: Kebo-keboan, Tradisi Sederhana di Banyuwangi yang Bernilai Besar
"Itu adalah fenomena alam yang bersifat alamiah (Sunnatullah) dan terjadi setiap tahun selama satu bulanan,” kata Robikin. Ia pun tak setuju bila Rabu Wekasan kerap dikaitkan dengan kesialan.
Namun, ia tak menampik masyarakat acap menggelar peringatan Rabu Wekasan dengan sejumlah tradisi. Tradisi itu umumnya dilakukan oleh masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura secara turun-temurun. Biasanya, ritual ini diisi dengan salat tolak bala, berdoa dengan ujub-ujub khusus, minum air jimat, selamatan, sedekah, silaturahmi, dan melakukan hal-hal baik kepada sesama.
Robikin menjelaskan tradisi Rabu Wekasan itu bukan bagian dari syariat Islam. Namun ia menganggapnya sebagai tradisi yang positif karena menganjurkan umat untuk salat dan berdoa. Selain itu, tradisi itu membiasakan bersedekah dan menghormati para wali. "Jika niat dan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan syariat, hukumnya boleh,” ujarnya.