TEMPO.CO, Solo - Peringatan 20 tahun reformasi masih menyisakan pertanyaan yang belum terjawab soal keberadaan belasan aktivis prodemokrasi. Padahal, keluarga hanya ingin kejelasan soal nasib para aktivis tersebut.
"Bahkan sampai hari ini, nggak ada pengakuan siapa yang bawa Wiji Thukul pergi. Itu aja wis (permintaan saya), nggak usah bertele-tele. Aku nggak akan bales dia atau keluarganya," kata Sipon, istri Wiji Thukul, saat Tempo bertandang ke rumahnya di wilayah Kelurahan Jagalan, Jebres, Kota Surakarta, pada Selasa siang, 8 Mei 2018.
Wiji Thukul adalah salah satu aktivis yang hingga kini masih belum diketahui keberadaannya. Aktivis yang juga penyair itu hilang di awal 1998, menjelang jatuhnya rezim Orde Baru. Selain Wiji Thukul, aktivis lainnya yang masih hilang adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.
Baca: 20 Tahun Reformasi, Sumarsih: Sayur Asam Tak Sempat Dimakan Wawan
Menjelang jatuhnya Soeharto pada Mei 1998, penculikan aktivis prodemokrasi dilakukan aparat militer, yakni Tim Mawar dari Komando Pasukan Khusus. Meski pada 1999 majelis hakim Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta telah menjatuhkan vonis penjara 12-22 bulan terhadap 11 anggota Tim Mawar, sebutan untuk tim eksekutor penculikan aktivis, inisiatornya hingga kini belum terungkap. Dan, informasi ihwal keberadaan Wiji Thukul beserta para aktivis 1998 lain sampai sekarang masih senyap.
Dalam kurun 2000-2011, Dyah Sajirah yang akrab dipanggil Sipon, turut aktif berjuang bersama para penyintas dan keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia berat dalam peristiwa penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998 berdasarkan hasil penyelidikan pro justisia Komisi Nasional HAM.
Kepada sang inisiator atau pencetus ide penculikan para aktivis prodemokrasi 1998, ibu dua anak dan nenek dari satu cucu itu hanya ingin menanyakan di mana keberadaan Wiji Thukul. "Kalau masih hidup, di mana tinggalnya. Kalau sudah meninggal, di mana kuburannya. Ada juga orang yang bilang Wiji Thukul sudah kaya raya dan punya istri banyak. Tapi saya tidak percaya kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri," kata Sipon.
Baca: 20 Tahun Reformasi, Cerita Yogya Plaza dan Korban Kerusuhan Mei
Bukan hanya memikirkan nasib Wiji Thukul, selama berjuang mencari keadilan di balik tragedi 1998, Sipon mengaku kepedihannya semakin bertambah setelah mengetahui penderitaan para orang tua yang kehilangan anaknya. "Mami Koto (Tuti Koto, ibu Yani Afri) dulu sampai bilang ke saya. Pon, saya matinya kapan. Saya sudah capek tidak ada kejelasan," kata Sipon.
"Lambat laun keluarga korban penculikan pada mati, seperti Mami Koto dan Bu Nur Hasanah (ibu Yadin Muhyidin). Aku melihat langsung penderitaan mereka, sudah nggak bisa lagi nahan sakit hatinya sampai mati," kata Sipon.
Setelah lelah dipingpong kesana kemari dalam upaya mencari kejelasan nasib Wiji Thukul, Sipon kini hanya berdoa meminta kekuatan untuk terus menanti itikad baik dari pemerintah, yakni untuk menunjukkan bukti-bukti jika benar suaminya dihilangkan secara paksa untuk membungkam suara kritisnya.
"Kalau pemerintah beralasan tidak tahu, mungkin kami bisa legowo. Tapi ini ada pengungkapan dari Komnas HAM bahwa Wiji Thukul dihilangkan paksa. Saya ingat Usman Hamid dulu (sewaktu masih menjadi Ketua Harian KontraS) bilang pemerintah harus bertanggung jawab," kata Sipon.