TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana mencabut hak politik Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif Nur Alam, terdakwa korupsi yang merugikan negara Rp4,3 triliun. "Kami harap hakim mempertimbangkan selain lamanya masa hukuman dan uang pengganti, yaitu hukuman tambahan pencabutan hak politik," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah saat ditemui di kantornya, Kamis, 8 Maret 2018.
Pencabutan hak politik itu dilakukan agar yang bersangkutan tidak akan pernah bisa kembali menjadi pejabat negara. Febri mengungkapkan, tidak bisa membayangkan jika terpidana korupsi bisa mencalonkan diri kembali dalam Pilkada dan terpilih. "Pasti kerugian negara akan semakin besar," kata dia.
Baca:
3 Poin Keberatan Nur Alam atas Dakwaan KPK
Kasus Nur Alam, Tambang Merusak Lingkungan ...
Jaksa KPK menuntut Nur Alam dengan hukuman 18 tahun penjara dan membayar denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Tuntutan itu dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Kamis, 8 Maret 2018. "Terdakwa terbukti sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara bersama dan berlanjut," ujar jaksa Subari Kurniawan.
Subari menjelaskan tindakan Nur Alam melawan hukum. Terdakwa memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) mengakibatkan kerusakan lingkungan di Pulau Kabaena, Bombana, dan Buton.
Baca juga:
Saksi Kuatkan Dugaan Korupsi Nur Alam ...
Nur Alam Punya Tiga KTP, Satu untuk Buka ...
Jaksa KPK menyatakan perbuatan Nur Alam telah memperkaya dirinya sendiri karena mendapatkan imbalan Rp2,7 miliar. Ia juga memperkaya korporasi PT Billy Indonesia sebesar Rp1,5 miliar.
Nur Alam dinilai terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.