TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap telah melakukan kriminalisasi terhadap Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif, Nur Alam. Ahmad Rifai, kuasa hukum Nur Alam, menyebut sejumlah dakwaan yang disampaikan jaksa penuntut umum KPK sangat merugikan kliennya.
“Dakwaan terhadap Nur Alam salah alamat,” kata Ahmad saat dihubungi Tempo di Jakarta, Senin, 27 November 2017. Ahmad mengatakan sejumlah keberatan atas dakwaan jaksa KPK akan disampaikan dalam sidang eksepsi yang digelar hari ini di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat.
Baca juga: KPK Periksa Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam
Nur Alam merupakan tersangka dugaan kasus korupsi penyalahgunaan kewenangan untuk penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) tambang nikel bagi PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) di dua kabupaten di Sulawesi Tenggara dari 2009 sampai 2014.
Dalam sidang dakwaan yang digelar pada Senin lalu, 20 November 2017, Nur Alam didakwa memperkaya diri sendiri dengan menerima uang Rp 2,7 miliar dan gratifikasi sekitar Rp 40,26 miliar terkait dengan pemberian izin ini. Ia juga didakwa menyebabkan kerugian negara hingga Rp 4,3 triliun dan memperkaya PT Billy Indonesia, yang terafiliasi dengan PT AHM, hingga Rp 1,5 triliun.
Dalam sidang eksepsi hari ini, kata Ahmad, ada sejumlah poin keberatan yang akan disampaikan. Pertama, Nur Alam hanya mengeluarkan izin untuk PT AHB. “Dengan demikian, Pak Gubernur sama sekali tidak pernah menerima apa pun dari PT Billy, tapi dalam dakwaan disebut menerima uang dari PT Billy, ini yang salah alamat,” ujarnya.
Kedua, Nur Alam tidak pernah menerima gratifikasi apa pun dari PT AHB dan PT Billy, sebagaimana yang didakwakan jaksa. Ketiga, unsur kerugian negara tidak bisa dibebankan kepada seorang gubernur. “Terkait dengan kerusakan lingkungan dalam pertambangan ini, harus dibebankan ke perusahaan, bukan ke gubernur,” tutur Ahmad.
Baca juga: Gubernur Sultra Nur Alam Ditahan KPK Setelah 7 Jam Diperiksa
Terakhir, Ahmad menyebut penerbitan IUP ini sudah pernah digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun saat itu gugatan ditolak dan otomatis mengesahkan IUP tersebut. Penerbitan IUP inilah yang kemudian menjadi salah satu poin yang dijeratkan KPK kepada Nur Alam. “Artinya, KPK tidak menggunakan prinsip kehati-hatian dalam proses hukum ini,” ucapnya.