TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memberikan bantuan hukum untuk Basuki Wasis, ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor, yang menjadi saksi ahli dari KPK dalam kasus suap mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Basuki digugat secara perdata oleh kuasa hukum Nur Alam.
"KPK pasti akan memberikan dukungan," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, di kantornya pada Selasa, 17 April 2018.
Basuki Wasis dihadirkan KPK sebagai saksi ahli yang menghitung total kerugian negara akibat kegiatan pertambangan nikel yang dilakukan PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara, sebesar Rp 2,7 triliun. PT AHB adalah perusahaan yang menyuap Nur Alam untuk mendapat izin menambang di pulau itu. Pernyataan Basuki dalam persidangan itu kemudian dilaporkan pihak Nur Alam.
Baca: Gubernur Sultra Nonaktif Nur Alam Divonis 12 Tahun Penjara
Atas pelaporan itu, Febri mengatakan, KPK akan memberikan dukungan penuh kepada Basuki. Tak hanya bantuan hukum, KPK juga akan menyediakan informasi dalam proses pembuktian dalam persidangan nantinya.
Selain itu, KPK sudah mendatangi Basuki untuk melakukan koordinasi terkait dengan dukungan tersebut. Dukungan diberikan untuk menjamin ketenangan saksi lain dalam persidangan yang lain. "Jangan sampai orang-orang yang menyampaikan sesuatu di proses persidangan kemudian terancam karena aspek seperti ini," kata Febri.
Baca: Hak Politik Nur Alam Dicabut karena Terbukti Korupsi
Dalam kasus ini, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah menghukum Nur Alam 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara. Nur Alam juga harus membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar. Hakim juga mengabulkan tuntutan jaksa mencabut hak politik Nur Alam selama lima tahun setelah menjalani hukuman.
Hakim menilai Nur Alam terbukti menyalahgunakan jabatannya sebagai gubernur untuk memberikan izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi dan persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi IUP operasi produksi kepada PT AHB.
Nur Alam juga terbukti memperkaya korporasi PT AHB (belakangan diakuisisi PT Billy Indonesia) senilai Rp 1,5 triliun dari pemberian izin tersebut. Dari pelanggaran itu, Nur Alam memperoleh kekayaan Rp 2,7 miliar. Selain itu, hakim menyatakan, Nur Alam terbukti menerima suap secara berkala dari PT Richcorp Internasional Ltd sebanyak Rp 40,2 miliar.