TEMPO.CO, Jakarta - Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP dinilai masih belum layak untuk disahkan sebagai undang-undang. Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan ada beberapa pasal dalam RKUHP yang masih kontroversial.
“Sepanjang yang saya tahu, impikasinya juga belum pernah dihitung secara betul," kata Bivitri di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 3 Februari 2018.
Bivitri mengatakan, pasal yang paling kontroversial adalah pasal 263 ayat 1 soal penghinaan presiden. Menurut Bivitri, pasal itu berbahaya karena berpotensi multitafsir antara kritik dengan menghina. Ia mengatakan, pasal itu dapat menghalangi kebebasan berpendapat dan juga demokrasi di Indonesia.
Baca juga: Masuk RKUHP, Pasal Penghinaan Presiden Dinilai Terkait Pemilu
“Bisa saja ketika masyarakat atau mahasiswa sedang berdemonstrasi atau Aksi Kamisan, ada yang kepeleset mengkritik pemerintah.lalu dibungkam dan dipidanakan,” tutur Bivitri.
Baca Juga:
Pasal kesusilaan juga menurut Bivitri masih menjadi polemik. Ia mengatakan, pasal tersebut menunjukkan secara tidak langsung bahwa pemerintah tidak mengakui kenyataan adanya orang-orang yang memiliki kepercayaan yang berbeda soal asusila.
Orang-orang yang berbeda kepercayaannya itu, kata Bivitri, perlu diakomodasi pernikahannya. Menurut Bivitri, jika pasal itu seperti apa adanya sekarang, maka bisa saja berpotensi salah sasaran.
“Jangankan orang-orang dengan kepercayaan yang berbeda. Orang-orang Islam yang konservatif, yang nikah siri, itu bisa kena,” ujarnya.
Bivitri mengatakan, pasal tentang makar juga perlu diteliti lebih lanjut rumusannya. Menurut Bivitri, jika perumusan RKUHP tidak dilakukan dengan hati-hati, maka dapat berbahaya karena KUHP adalah acuan hakim dan jaksa untuk memutuskan suatu hukuman.
Pasal soal korupsi dalam RKUHP juga menurut Bivitri perlu dikaji lagi. Menurut Bivitri, kasus korupsi dianggap sebagai pidana khusus, karena diatur dalam Undang-undang tersendiri. Jika aturan soal korupsi dipindahkan ke KUHP, kata Bivitri, menjadi mengkhawatirkan karena berpotensi melemahkan KPK.
Baca juga: RUU KUHP, Kenapa Pasal Zina dan Homoseksual Rentan Diskriminatif?
Bivitri memberikan contoh perkara korupsi oleh swasta. Menurut Bivitri, legislator sengaja menaruh pasal tersebut dalam RKUHP sehingga perkara itu tidak jadi wewenang KPK, melainkan wewenang polisi dan kejaksaan.
“Menurut saya, kejaksaan dan kepolisian itu masih jauh dari reformasi. Kita tahu jual beli perkara masih sering marak terjadi,” kata Bivitri.