TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah membatalkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (revisi KUHP). Menurut Bivitri, masih banyak pasal yang kontroversial dan belum dianalisis implikasinya.
"Sebaiknya dihentikan saja. Menurut saya, RKUHP ini masih banyak pasal yang kontroversial. Sepanjang yang saya tahu, implikasinya juga belum pernah dihitung secara betul," tutur Bivitri di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 3 Februari 2018.
Baca: Komnas HAM: Penundaan Pengesahan RKUHP Adalah Jalan Terbaik
Pemerintah dan DPR berencana merevisi KUHP dengan memasukkan perluasan pasal terkait dengan kesusilaan yang akan meregulasi zina, pencabulan, dan homoseksual. Revisi ini dinilai menyisakan sejumlah masalah baru.
Bivitri mengatakan legislator belum memikirkan implikasi pasal-pasal yang kerap dianggap kontroversial, seperti pasal kesusilaan, zina, serta lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Implikasi yang dimaksud, menurut Bivitri, adalah kesiapan aparat penegak hukum, termasuk kapasitas lembaga pemasyarakatan.
"Lapas sudah siap belum? Sudah dihitung belum kapasitasnya? Seharusnya itu dihitung dulu semuanya karena ini hukum pidana,” ujar Bivitri.
Menurut Bivitri, KUHP berbeda dengan undang-undang lain. Ia mengatakan KUHP memuat semua perilaku yang dianggap mengganggu ketertiban. Esensi KUHP, kata dia, adalah menindak perilaku yang dianggap melanggar hak asasi manusia. Dia menyebut tindakannya bisa berupa dipenjara, hukum mati, ataupun kerja sosial. “Sehingga rumusan ini harus hati-hati,” ucapnya.
Baca: Kata MUI tentang Polemik Pembahasan LGBT pada Revisi KUHP
Bivitri berujar, jika perumusan revisi KUHP tidak dilakukan dengan hati-hati, dapat berbahaya. Sebab, KUHP adalah acuan hakim dan jaksa untuk memutuskan suatu hukuman. “Kalau bisa dihentikan, hentikan sekarang. Banyak sekali pasal yang nyelip, dangkal, dan tidak sesuai esensi,” tuturnya.