TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan pemerintah punya alasan belum membuka draf Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) ke publik. Dia mengatakan pemerintah baru akan memberikan draf itu ke publik setelah menyerahkannya ke DPR.
“Jadi mohon bersabar, bukannya kami tidak mau membuka ke publik,” kata Eddy panggilan Edward Omar Sharif Hiariej dalam diskusi RKUHP, Kamis, 23 Juni 2022.
Eddy mengatakan pemerintah tak mau mengulangi apa yang terjadi saat pembahasan RUU Cipta Kerja. Draf RUU Cipta Kerja muncul dengan berbagai versi dan kesalahan pengetikan. “Jadi kami baca teleiti betul, kalau sudah selesai kami kasih ke DPR baru dibuka ke publik,” kata Eddy.
Menurut dia, draf RKUHP saat ini masih dibahas oleh pemerintah. Pembahasan itu, kata dia, telah melibatkan masukan dari masyarakat. Dia mengaku telah mengundang sejumlah narasumber untuk menilai aturan-aturan yang terdapat di RKUHP. Dari masukan itu, pemerintah merevisi sejumlah aturan.
Misalnya soal penodaan agama. Pemerintah, kata dia, mengubah rancangan aturan mengenai itu. “Ada perubahan signifikan,” kata dia. Selain itu, ada dua pasal yang dihapus, yaitu tentang advokat curang dan praktek dokter gigi.
Namun, kata dia, ada juga aturan yang menjadi perdebatan, seperti soal kohabitasi atau kumpul kebo. Dia bilang ada sebagian masyarakat yang minta itu dihapus. Tetapi ada juga sebagian masyarakat yang ingin aturan itu menjadi delik umum, sehingga semua orang bisa melaporkannya. Menurut Eddy, dalam situasi tersebut, pemerintah harus mengambil jalan tengah. “Tolong dipahami, tidak bisa semua yang diinginkan kami akomodasi,” kata dia.
Dia mengatakan kelak jika RKUHP sudah disahkan, maka masyarakat yang tidak setuju masih mempunyai cara untuk menggugat. Yaitu melalui Mahkamah Konstitusi. “Pemerintah selalu patuh kok dengan putusan MK,” kata dia.
Baca: Wamenkumham Bilang Membuat RKUHP di Indonesia Tak Mudah, Belanda Butuh 70 Tahun