TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syaafii Maarif memberikan sejumlah pesan kepada calon pemimpin dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Satu di antara wejangan yang disampaikan Buya Syafii adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden hendaknya saling memahami sub kultur masing-masing secara mendalam supaya bertahan memimpin Indonesia.
“Cari yang positif dalam sub kultur Jawa, Bugis, Madura. Saya rasa Indonesia yang akan datang seperti itu,” kata Buya Syafii dalam pidato kebudayaan bertema Tradisi Kebangsaan untuk merayakan 1 tahun Sanggar Maos Tradisi di Sleman, Jumat malam, 26 Januari 2018. Para pasangan calon harus saling “memperkaya” supaya bisa bertahan memimpin Indonesia.
Baca: Buya Syafii: Indonesia Berjibun Politisi Instan Bermental Duafa
Buya Syafii memberikan contoh ketika kampanye pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam Pilpres 2014. Waktu itu Buya bertemu Jusuf Kalla beberapa kali dan memberikan nasehat kepada JK. Buya mengaku beberapa kali bertemu JK. “Saya bilang bapak harus ngerti sub kultur Jawa,” kata Buya Syafii. JK kemudian belajar 10 buku tentang Jawa.
Indonesia, kata dia, harus belajar dari sejarah pemimpin negara. Misalnya ketika Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) dan Wapres JK memimpin Indonesia, mereka pecah kongsi. Buya Syafii mengibaratkan SBY sebagai rem dan JK sebagai gas seperti pada kendaraan.
Baca juga: Syafii Maarif: Muhammadiyah & NU Harus Vokal ...
Gabungan dua kekuatan pemimpin Indonesia yang berselisih juga menimpa Presiden Soekarno dan wakilnya, Mohammad Hatta. Soekarno berlatar Jawa, sedangkan Hatta berlatar Minangkabau. “Mengapa Soekarno-Hatta pecah? Itu karena masing-masing belum memahami sub kultur masing-masing secara mendalam,” kata Buya.
Soekarno punya jasa besar dengan slogan-slogannya tentang kedaulatan di bidang politik, ekonomi. Sedangkan, Hatta memilih menempuh jalan sunyi. Hatta, kata Buya seorang moralis sejati.
Berbagai rangkaian acara digelar pada 24-27 Januari untuk merespon isu kebangsaan, pluralisme, dan identitas di tempat yang sama. Di antaranya pameran lukisan, pentas tari, pantomim Jemek Supardi, sholawatan Gusdurian, pidato kebangsaan oleh Pratikno, diskusi bersama Direktur Lembaga Survei Indnesia (LSI) Dodi Ambardi, dan bincang ringan tentang demokrasi dan keadilan ekonomi bersama Faisal Basri.