TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum tata negara, Margarito Kamis, menjadi saksi ahli meringankan yang diajukan tersangka dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), Setya Novanto. Margarito mengatakan penyidik menanyakan prosedur pemeriksaan terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
"Tiga pertanyaan doang. Seputar prosedur pemeriksaan terhadap anggota DPR. Itu yang saya jelaskan seharusnya ada izin dari Presiden," kata Margarito seusai pemeriksaan di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta Selatan, Senin, 27 November 2017.
Ia pun menjelaskan, untuk menetapkan dan memeriksa seorang tersangka, menurut keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU.XII/ 2014, KPK harus memeriksanya sebagai calon tersangka. "Untuk diperiksa sebagai calon tersangka mesti ada izin dulu dari Presiden," ujarnya.
Baca juga: KPK Panggil 9 Saksi dan 4 Ahli Pihak Setya Novanto Besok
Margarito berpendapat hak untuk mendapatkan izin Presiden sebelum diperiksa dimiliki setiap anggota Dewan yang dijerat tindak pidana khusus. Namun, kata dia, tak semua anggota Dewan menggunakan izin ini. "Itu kan hak. Orang punya hak, mau dipakai atau tidak, tergantung," ujarnya.
Ia pun mengabaikan ketentuan bahwa KPK bisa menetapkan status tersangka hanya dengan mengantongi minimal dua alat bukti. "Kalau kau belum pernah diperiksa, bagaimana mau dapat dua alat bukti? Dari mana ceritanya Anda tidak periksa orang, Anda bisa temukan dua alat bukti yang cukup," ucap Margarito.
Dengan dasar itulah, kata dia, Setya memiliki peluang kembali memenangi gugatan praperadilan atas penetapan status tersangka. "Itu celah ada kemungkinan SN lolos melalui praperadilan," katanya.
KPK menghadirkan sejumlah saksi dan ahli terkait dengan penyidikan korupsi proyek e-KTP untuk tersangka Setya Novanto, hari ini. Sembilan orang saksi dan lima ahli meringankan telah diajukan pihak kuasa hukum Setya Novanto. Namun, hingga pukul 13.00, baru Margarito dan politikus Golkar, Maman Abdurahman, yang hadir.
Baca juga: Nurdin Halid Akan Minta Idrus Marham Bujuk Setya Novanto Mundur
KPK menyatakan saksi yang dihadirkan meliputi politikus Partai Golkar, baik yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, tenaga ahli Ketua DPR, maupun pengurus Partai Golkar. Sedangkan untuk ahli, empat orang merupakan ahli pidana dan satu orang adalah ahli hukum tata negara.