TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) Bestha Imatsan Ashila mengatakan, berdasarkan hasil riset 2017, kekerasan seksual terhadap perempuan kebanyakan dilakukan oleh guru. Hasil penelitian tersebut diungkapkan Bestha saat diskusi media dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti-kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), Jumat, 24 November 2017.
"Jika 2016 dilihat dari putusan hakim, polanya hampir sama. Relasi pelaku dengan orang 85 persen orang terdekat. Hasil riset tahun ini, pelakunya malah paling banyak guru," kata Bestha kepada Tempo.
Baca: Tidak Semua Kekerasan Seksual Terhadap Anak Disebut Pedofilia
Menurut Bestha temuan itu mengejutkan. Sebab, guru harusnya mengajar dan mendidik anak, bukan malah menjadi pelaku kekerasan seksual. Dari data yang disampaikan dalam diskusi tersebut, 83 persen korban kekerasan terhadap perempuan merupakan anak-anak, sedangkan 17 persen sisanya perempuan dewasa.
Adapun jenis kekerasan seksual yang paling banyak terjadi, kata dia, adalah perkosaan, yakni 55 persen. Sisanya dalam bentuk lain seperti sodomi, meraba dan mencium, pencabulan, anal atau oral seks, eksploitasi seksual anak, prostitusi, mengirimkan gambar seksual dan sejenisnya.
Simak: Benarkah Anak Korban Kekerasan Seksual Dapat Menjadi Pelaku?
Dia menuturkan laporan kekerasan yang ditindaklanjuti oleh penegak hukum biasanya kasus yang menjadi sorotan dan perhatian publik melalui media massa. Bestha memandang hukum Indonesia tidak mengakomodir berbagai bentuk kasus kekerasan terhadap perempuan.
Sehingga, Bestha berharap agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) segera disahkan. "Korbannya sudah banyak, tapi hukumnya tidak mengakomodir," kata Bestha.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebut kasus kekerasan seksual merupakan permasalahan asusila. Padahal, menurut Bestha, itu merupakan kejahatan kemanusiaan.
Lihat: Kementerian PMK: Pornografi Sumber Kekerasan Seksual pada Anak
"Hukum Indonesia masih sebatas gimana caranya pelaku dihukum. Ya udah, korban seperti tidak diperhatikan. Hakim belum concern ke korban. Padahal korban perlu pemulihan, restitusi, biaya psikologisnya," ujarnya.
Bestha juga mengatakan bahwa saat ini RUU-PKS sudah masuk dalam prolegnas prioritas. "(Itu) berita yang cukup bagus. Harus diperjuangkan selanjutnya pasal-padal yang diakomodir."