Jakarta - Ketua Dewan Pimpinan Pusat Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Partai Golkar, Rudy Alfonso menolak berkomentar tentang rencana Komisi Yudisial mengusut kejanggalan proses persidangan dan putusan praperadilan status tersangka Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto. Dia mengklaim, partai berlambang pohon beringin tersebut telah menyerahkan seluruh proses hukum kepada Setya dan kuasa hukumnya.
"Saya tidak bisa berpendapat karena tidak menangani kasus tersebut," kata Rudy melalui pesan singkat, Jumat, 20 Oktober 2017.
Baca: KY Akan Periksa Hakim Cepi Terkait Praperadilan Setya Novanto
Sebelumnya, Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian, dan Pengembangan Komisi Yudisial, Sumartoyo, mengklaim telah menerima informasi tentang adanya upaya sejumlah pihak mengegolkan praperadilan Setya Novanto sebelum gugatan didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia memastikan lembaganya akan segera menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan sidang yang membatalkan status tersangka Setya dalam perkara korupsi proyek e-KTP.
Menurut Sumartoyo, Komisi Yudisial telah mendengar informasi ihwal sejumlah pihak yang berupaya mencari hakim penanganan perkara ini. Kriterianya, kata dia, hakim yang tidak membutuhkan promosi jabatan atau mutasi. Komisi Yudisial juga berupaya menghubungi sejumlah pihak untuk mengawasi penunjukan hakim tunggal praperadilan tersebut.
"Seminggu kemudian, benar berkas dimasukkan, dan yang ditunjuk hakim Cepi," ujarnya dengan nada kecewa. "Semua orang juga tahu kan putusannya menyatakan bukti keterlibatan Setya tak bisa dipakai. Ini indikasi kuat yang disebut enggak beres."
Cepi Iskandar membatalkan status tersangka Setya dalam kasus korupsi e-KTP pada 29 September lalu. Pria kelahiran Jakarta, 58 tahun lalu, ini dilaporkan ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung lantaran berat sebelah dalam menyidangkan perkara, serta putusannya yang janggal.
Salah satu dalil dalam putusan Cepi, misalnya, menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi tak menjerat Setya dengan data, informasi, dan barang bukti yang diperoleh dari tersangka lain. Putusan ini dinilai bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan alat bukti dapat digunakan di dua pemeriksaan terpisah dalam kasus pidana dengan pelaku lebih dari satu orang.
Apalagi hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam putusan perkara korupsi e-KTP dengan terdakwa bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, menyatakan barang bukti bisa digunakan untuk tersangka lain. Selain terhadap Setya- yang belakangan status tersangkanya dibatalkan oleh hakim Cepi- KPK telah menetapkan tiga tersangka lain dalam kasus dengan kerugian negara hingga Rp 2,3 triliun ini.
Ketiganya adalah pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, yang kini telah menjadi terdakwa; Markus Nari, politikus Partai Golkar; dan Anang Sugiana Sudihardjo, Direktur Utama PT Quadra Solution- anggota konsorsium pemenang tender proyek e-KTP. "Saya juga tidak mengetahui proses dari awal hingga putusannya," kata Rudy.
Baca: Tak Hadiri Sidang e-KTP, Begini alasan Setya Novanto
Cepi sejak awal tak dapat dimintakan keterangan atas tudingan sejumlah kelompok masyarakat. Kepada Tempo, juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Made Sutrisna, pernah menyatakan lembaganya telah menyiapkan seluruh proses praperadilan sesuai dengan prosedur dan secara profesional, termasuk dalam penunjukan hakim Cepi.
Pekan lalu, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Abdullah, menyatakan lembaganya juga mengawasi sidang praperadilan Setya Novanto. "Badan Pengawasan masih bergerak terus. Kami itu sudah memantau sejak nama hakim dipilih," ujar dia.
FITRIA RAHMAWATI l MAYA AYU l FRANSISCO ROSARIANS l AGOENG WIJAYA