RUU Antiterorisme Disahkan, Melibatkan Anak Dihukum Lebih Berat
Reporter
Rezki Alvionitasari
Editor
Amirullah
Jumat, 25 Mei 2018 16:23 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan rancangan revisi undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme atau RUU Antitetorisme di Gedung DPR, Jakarta, Jumat, 25 Mei 2018. Salah satu yang diatur dalam UU tersebut adalah soal pelibatan anak dalam tindakan teror.
Pasal baru tersebut termaktub dalam Pasal 16A. Di pasal tersebut disebutkan setiap orang yang melakukan tindak pidana terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah sepertiga.
Baca: RUU Antiterorisme Disahkan, Korban Bom Dapat Kompensasi
Sementara pada Pasal 6 dituliskan, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.
Teror bom yang melibatkan anak-anak terjadi di Surabaya pada 13 Mei 2018. Bom bunuh diri di gereja Surabaya adalah peristiwa pertama yang melibatkan anak-anak. Keesokan harinya, seorang anak juga terluka dan hampir terkena bom ketika ibunya meledakkan diri di Markas Polresta Surabaya.
Baca: RUU Antiterorisme Disahkan, Jokowi Siap Keluarkan Perpres
Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina, Ihsan Ali Fauzi, menyampaikan penyebaran paham radikalisme memang lebih mudah dilakukan kepada keluarga. Alasannya, keamanan yang makin meningkat mendorong rekrutmen berbasis keluarga dianggap lebih aman. Penularan paham radikalisme di dalam keluarga juga sulit dideteksi, sehingga monitoring, dan pencegahan.
"Ikatan keluarga mempercepat radikalisasi, bukan lagi pertimbangan politik atau ideologi, tapi ikatan keluarga," kata Ihsan dalam dalam sebuah diskusi pada Kamis, 17 Mei 2018.
Dalam hubungan keluarga ada cinta, trust atau kepercayaan, dan kesediaan berkorban. Dengan begitu, mereka sulit berkhianat karena memiliki hubungan keluarga.