TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan salah satu terobosan dalam revisi undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme atau RUU Antitetorisme yaitu pasal mengenai perlindungan terhadap korban.
"Ini terobosan, korban juga akan diberi kompensasi, baik orang asing. Pokoknya korban terorisme," kata dia mengikuti sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung DPR, Jakarta, Jumat, 25 Mei 2018.
Baca: Dibahas Sejak 2016, RUU Antiterorisme Akhirnya Disahkan
Pasal ini juga berlaku bagi korban bom yang telah lalu, mulai dari Bom Bali 1 pada 2002. Menurut Yasonna, aturan mengenai korban itu berlaku surut karena keputusan politik.
"Karena setelah pansus pergi ke daerah mendengar, juga pemerintah mendengar para korban, ada yang barangkali belum terselesaikan, menyisakan trauma," ujarnya.
Dalam RUU antitetorisme yang disahkan dalam sidang paripurna DPR hari ini, Jumat, 25 Mei 2018, terdapat lima pasal pada bab perlindungan terhadap korban. Misalnya pada pasal 35A menyebutkan korban merupakan tanggung jawab pemerintah.
Poin kedua, korban meliputi korban langsung dan tidak langsung. Korban ditetapkan oleh penyidik berdasarkan hasil olah tempat kejadian tindak pidana terorisme. Bentuk tanggung jawab negara berupa bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, santunan bagi keluarga dalam hal korban meninggal dunia, serta kompensasi.
Baca: Wakil Pansus DPR Sebut RUU Antiterorisme Bersifat Preventif
Pasal 36A mengatur soal restitusi, yakni korban berhak mendapat restitusi. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya. Restitusi diajukan oleh korban atau ahli warisnya kepada penyidik sejak tahap penyidikan. Jika pelaku tidak membayar restitusi, maka dia dikenai pidana penjara pengganti paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun.