TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menyusul pengesahan itu, pemerintah segera menyusun peraturan presiden (perpres) yang menjelaskan keterlibatan TNI dalam memerangi terorisme.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta pelaksanaan undang-undang itu diawasi agar tidak disalahgunakan. “Perlu ada mekanisme pengawasan yang memadai terhadap penegak hukum dan lembaga-lembaga terkait dalam menangani pemberantasan terorisme,” ucap Koordinator KontraS Yati lewat keterangan tertulis, Jumat, 25 Mei 2018.
Yati mengatakan mekanisme tersebut bisa dituangkan dalam beberapa regulasi, misalnya merevisi Undang-Undang Peradilan Militer. Regulasi tersebut perlu dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Langkah ini penting untuk jaminan pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban tindak pidana terorisme, termasuk korban salah tangkap, penyiksaan, dan salah tembak. "Prinsip kehati-hatian harus dikedepankan mengingat dalam RUU ini terdapat sejumlah pasal yang memberikan sejumlah diskresi kepada penegak hukum," ujar Yati.
Menurut Yati, Dewan Perwakilan Rakyat juga perlu merevisi UU Tindak Pidana Penyiksaan untuk menjamin tidak terjadinya praktik penyiksaan dalam proses pemberantasan terorisme. Selain itu, bisa dituangkan ke dalam RUU Penyadapan dan UU Perlindungan Data Pribadi yang dapat menjadi payung hukum pasal penyadapan.