TEMPO.CO, Jakarta - Sutomo alias Bung Tomo mulai kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1959 atau saat dia berusia 39 tahun. Dia pun bisa kuliah meskipun hanya lulusan Holland Inlander School atau sekolah rendah untuk kaum pribumi di Surabaya.
Meskipun membulatkan tekad untuk menjadi mahasiswa, nyatanya kuliah Bung Tomo jauh dari mulus. Sutomo tak melepas kegiatannya sebagai aktivis. Menurut sejarawan Rushdy Hoesein, Sutomo termasuk gencar menolak komunisme dan berseberangan dengan Presiden Sukarno. “Dia mendukung aksi unjuk rasa mahasiswa,” kata Rushdy.
BACA:
Kritik Bung Tomo: Sukarno, Soeharto, dan Mahasiswi Nakal
Bung Tomo, Mahasiswa Abadi yang Populer
Baru pada 1968 atau sembilan tahun setelah kuliah, Sutomo bisa memasuki masa prayudisium. Ini berarti dia bisa menyusun skripsi.
Putra Sutomo, Bambang Sulistomo, mengatakan, ayahnya mengambil tema skripsi pembangunan ekonomi di pedesaan, dengan pembimbing Selo Soemardjan, pakar sosiologi. Penelitiannya dilakukan di sejumlah desa di kawasan tengah Indonesia, seperti Bali dan Nusa Tenggara.
Menurut istri Sutomo, Sulistina, suaminya sebenarnya sudah menyelesaikan skripsi. “Sudah selesai sebelum naik haji,” kata Sulistina. Sayang, skripsi itu tak pernah diuji. Dia meninggal saat wukuf di Arafah pada 7 Oktober 1981. Toga tak pernah tersemat di kepala Bung Tomo.
PRAMONO
Siapa sosok Sutomo alias Bung Tomo sesungguhnya? Baca selengkapnya Edisi Khusus Bung Tomo Penyebar Warta Palagan Surabaya di Majalah Tempo pekan ini.