TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme (Pansus RUU Terorisme) M. Syafii mengatakan pihaknya dan pemerintah menyepakati Pasal 31 A dalam RUU tersebut mengatur penyadapan lebih dulu sebelum mendapatkan izin pengadilan. Namun penyadapan tanpa izin pengadilan harus memenuhi persyaratan tertentu.
Syaratnya adalah mengandung unsur bahaya maut atau luka fisik yang serius dan mendesak. “Dalam situasi tertentu bisa langsung menyadap, baru minta persetujuan. Kita ubah situasi yang mendesak dan harus diterjemahkan mendesak itu apa, baru boleh,” ujar Ketua Pansus RUU Terorisme yang juga politikus Gerindra itu di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, 26 Juli 2017.
Baca juga: Pansus RUU Terorisme Sepakati Penyadapan tanpa Izin Pengadilan
Pembahasan pasal penyadapan tanpa izin pengadilan ini berjalan alot karena berhadapan dengan kebebasan dan hak asasi manusia yang privat. Menurut Syafii, pasal penyadapan harus menghormati hak asasi manusia.
Pembahasan pasal penyadapan bersama pemerintah sempat berjalan alot untuk menentukan waktu penyadapan. Syafii menuturkan waktu ideal untuk penyadapan harus lebih dulu mendapatkan izin dari pengadilan. “Tapi di lapangan, ada hal-hal yang sangat luar biasa, yang kalau menunggu izin dulu, situasinya bisa berubah,” katanya.
Alasan itulah yang membuat Pansus mengambil jalan tengah dengan memberi kesempatan bagi penyidik kepolisian melakukan penyadapan lebih dulu sebelum mendapatkan izin pengadilan.
Rumusan RUU Terorisme Pasal 31 A menyebutkan, dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan lebih dulu terhadap orang yang diduga mempersiapkan dan/atau melaksanakan tindak pidana terorisme.
Anggota tim ahli dari pemerintah untuk RUU Terorisme, Harkristuti Harkrisnowo, berujar, pada prinsipnya, penyadapan yang dilakukan penyidik harus dipertanggungjawabkan. Menurut dia, penyadapan harus diketahui kepala penyidik untuk segera dilaporkan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. “Yang penting bukan hasilnya, tapi prosesnya,” ujarnya.
Pertanggungjawaban tersebut, kata dia, lebih untuk mengatur persoalan administratif untuk mengetahui penanggung jawab atas penyadapan tersebut. “ Maka aparat hukum yang terkait dengan proses penyadapan, bila membocorkan bisa kena sanksi. Pasti nanti akan ada sanksi pidana,” katanya.
Anggota tim ahli dari pemerintah lain, Muladi, menilai frasa "dalam keadaan mendesak" harus diberikan penjelasan dengan mengacu pada RUU KUHAP. Beberapa di antaranya memperhatikan unsur bahaya maut atau luka fisik yang serius dan mendesak serta pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara. "Ini merupakan karakteristik tindak pidana terorganisasi," ucapnya.
ARKHELAUS W.