TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Panitia Khusus DPR RUU Antitetorisme, Muhammad Syafii menyebut pansus dan pemerintah berupaya menyusun undang-undang yang komprehensif dan hati-hati.
"Karena RUU Antiterorisme yang diajukan pemerintah sejatinya hanya penindakan, represif. Di pansus dibangun 3 spirit, yaitu penegakan hukum, penghormatan ham, dan pemberantasan terorisme," kata Syafii dalam konferensi pers di Fraksi Partai Gerindra DPR, Jakarta, Jumat, 18 Mei 2018.
Dalam pembahasan, ucap Syafii draft itu berubah menjadi pencegahan, penindakan, dan pemulihan terhadap korban.
Baca : DPR Pastikan Pasal Guantanamo Hilang dari RUU Antiterorisme
"Karenanya dalam pembahasan banyak sekali hal-hal yang muncul di diskusi. Pemerintah pun menyusun redaksi butuh waktu," ujarnya. Salah satu hal yang baru diatur adalah akan ada tim khusus dari DPR yang akan mengawasi kinerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Detasemen Khusus atau Densus.
Menurut Syafii dalam ruu termuat tentang pemulihan korban terorisme. Korban terorisme disebut tanggung jawab negara. Dalam pembahasan disepakati bahwa ada korban langsung dan tidak langsung. Ada pemulihan psikososial, psikologi, serta kompensasi dari pemerintah dan restitusi.
Ruu ini pun, kata dia, sudah hampir rampung. "Semua pasal selesai, saya katakan 99,9 persen sudah selesai, clear dan seluruhnya aklamasi. Tinggal soal definisi saja," kata Syafii.
Sebelum adanya kerusuhan di Mako Brimob, kata dia, pansus sudah setuju melanjutkan ruu ini namun setelah kejadian bom, ucap Syafii, DPR dituduh lelet. "Apa dasarnya DPR dibilang lelet, lalu Gerindra dituduh menghalang-halangi?" Kata kader Partai Gerindra itu.
Syafii juga berpendapat bahwa pernyataan Kapolri yang akan meminta peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perppu antitetorisme, terkait pembahasan RUU Antiterorisme alot, ini berlebihan. "Masa ada hubungannya dengan ruu? Kejadiannya di Mako Brimob kok. Masa terorisnya berontak di dalam sel yang disalahkan pansus?" Syafii menegaskan.