TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan pendidikan bela negara penting untuk menanamkan arti demokrasi yang sebenarnya pada masyarakat. Bela negara, menurut dia, bisa mencegah bentuk demokrasi yang kebablasan, seperti ungkapan Presiden Joko Widodo.
"Yang ikut program bela negara itu dilatih soal hukum, kebangsaan, juga soal demokrasi," ucap Ryamizard setelah meresmikan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bela Negara Kementerian Pertahanan di Rumpin, Bogor, Jawa Barat, Selasa, 28 Februari 2017. "Disampaikan apa sih demokrasi yang benar itu."
Baca: Ryamizard Resmikan Pusdiklat Bela Negara, Ini Fasilitasnya
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu menegaskan bela negara sebagai bagian dari cara pemerintah memperbaiki mental bangsa, termasuk dalam berdemokrasi. "Kami laksanakan perintah presiden," ujarnya. "Dari awal sudah disampaikan (bagaimana mengatasi) masalah revolusi mental, sosial, dan agama. Di bela negara, lengkap semua itu."
Menurut Ryamizard, pelatihan bela negara idealnya berjalan selama delapan hari. Durasi tersebut, tutur dia, terdiri atas empat hari pelatihan lapangan dan empat hari kelas. "Ada yang bilang, ini latihan perang dan wajib militer. Salah sekali itu. Ini tak muluk-muluk, asal dimengerti saja," katanya.
Simak pula: Sidang Ahok, Ini Alasan Hakim Tolak CD Rekaman dari Rizieq Syihab
Praktek demokrasi selama beberapa waktu terakhir dinilai kebablasan oleh Jokowi. "Banyak yang bertanya kepada saya, apa demokrasi kita kebablasan? Saya jawab ya," ucap Jokowi di Bogor, 22 Februari lalu.
Menurut dia, praktek berpolitik demokrasi di Indonesia berpotensi menyimpang ke paham ekstremisme, seperti liberalisme, radikalisme, sektarian, dan fundamentalisme. Penyimpangan itu, ujar dia, terwujud dalam bentuk politisasi masalah suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Hal itu bisa menjurus kepada perpecahan bangsa. "Ini ujian yang kalau bisa dilewati akan membuat kita matang dan tahan uji," tutur Jokowi.
YOHANES PASKALIS