TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin meminta pemerintah menghormati independensi fatwa majelis ulama. Dia tidak setuju terhadap pendapat yang menyebutkan bahwa fatwa MUI sebagai penyebab instabilitas nasional.
"Kalau ada pandangan yang menyebut fatwa MUI mengganggu stabilitas, mohon maaf, mengapa sumber instabilitas itu tidak diatasi?" kata Din di Kantor Pusat MUI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 18 Januari 2017.
Meski tak ingin menyebut nama atau pihak tertentu, dia beropini situasi nasional yang tak stabil dipicu sejumlah kejadian menjelang akhir 2016. "Ya, yang Pulau Seribu. Itu anti-kerukunan, anti-kemajemukan, menyinggung perasaan. Itu yang harusnya digugat," kata dia.
Din mengaku heran dengan munculnya kesan negatif pada sejumlah pemberitaan terkait dengan fatwa MUI. Beberapa fatwa MUI yang menurutnya sempat diberitakan negatif, di antaranya soal penistaan agama dan fatwa larangan atribut natal.
Din menyebutkan fatwa MUI sebagai pandangan keagamaan untuk umat Islam. Sifat fatwa, ujarnya, memang tidak mengikat secara hukum. "Namun jangan karena bukan hukum positif, MUI tidak boleh mengeluarkan pandangan. Rusak negara ini kalau tidak boleh mengeluarkan pandangan keagamaan," katanya.
Pandangan mengenai fatwa MUI sempat muncul dalam diskusi yang diadakan Polri dengan tema "Fatwa MUI dan Hukum Positif". Dalam diskusi di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan, Selasa kemarin, hadir Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Tito menekankan pentingnya keberadaan MUI yang sudah banyak melahirkan fatwa-fatwa. "Namun menjadi menarik belakangan ini ketika fatwa-fatwa ini berimplikasi luas dan bisa menimbulkan dampak," kata Tito.
Contoh dampak yang dia maksud adalah saat muncul Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI. "Atas nama gerakan, ini terjadi mobilisasi masyarakat dan opini terbentuk bahwa dengan adanya sikap keagamaan dari MUI," ujarnya.
YOHANES PASKALIS