TEMPO.CO, Yogyakarta - Sebanyak 100 buruh di Yogyakarta akan menggelar aksi tapa pepe di depan Keraton Yogyakarta, Senin, 31 Oktober 2016. Mereka akan mengadukan kebijakan Gubernur Yogyakarta kepada Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang tak lain adalah juga Gubernur Yogyakarta.
“Benteng terakhir kami ketika Sultan HB X selaku gubernur tak juga memperhatikan kaum buruh, kami hanya bisa mengadukan nasib buruh kepada beliau sebagai raja keraton,” kata Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Yogyakarta, Aziz Nur Fitriyanto, dalam rapat konsolidasi buruh menolak upah murah di kantor Konfederasi SPSI Yogyakarta, Minggu, 30 Oktober 2016.
Para buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Yogyakarta itu berasal dari berbagai elemen, seperti Logam Elektronik dan Mesin (LEM), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), dan Serikat Pekerja Nasional (SPN).
Sebelum menetapkan upah minimum kabuaten/kota 2017 pada 1 November 2016, mereka mendesak Gubernur Yogyakarta Sultan HB X tidak serta merta mengacu pada instruksi Menteri Ketenagakerjaan yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 (PP 78).
Sebab, dengan PP 78 tersebut, kenaikan upah buruh di Yogyakarta hanya 8,25 persen akibat rendahnya nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal kenaikan upah dari 2015 ke 2016 meningkat 11,5 persen. Jika semata-mata mengacu pada PP 78, upah di Yogyakarta pada 2017 hanya akan meningkat kurang lebih Rp 100 ribu.
“Kami berharap Sultan sebagai penguasa tertinggi di Yogyakarta lebih bijaksana dalam memutuskan upah sebagai raja yang mengayomi kesejahteraan rakyatnya, terutama buruh,” ujar Aziz. “(Sultan sebagai raja) Kami harap tidak asal manut memakai instruksi menteri dengan PP 78 yang menyengsarakan buruh itu,” kata Aziz.
Para buruh menuntut Sultan menggunakan survei kebutuhan hidup layak dari buruh. Jika menggunakan survei itu, seharusnya kenaikan upah minimum di Yogyakarta pada 2017 rata-rata Rp 650 ribu atau menjadi Rp 2,6 juta.
“Dengan upah Rp 1,5 juta, tak akan pernah ada buruh yang bisa punya kesempatan memiliki rumah. Angka itu terlalu kecil bagi pihak perbankan untuk memberi akses kredit rumah bagi buruh,” ujarnya. Padahal, saat ini, dari survei yang dilakukan terhadap para buruh, ada 90 persen buruh di Yogyakarta belum memiliki rumah.
Sekretaris Aliansi Buruh Yogyakarta Kirnadi menuturkan ada lima tuntutan dalam aksi Tapa Pepe buruh pada Senin ini. Pertama, agar Raja Keraton Sultan HB X menegur Gubernur Yogyakarta untuk tidak memakai PP 78 sebagai perhitungan upah minimum. Kedua, agar Sultan HB X menegur Gubernur Yogyakarta untuk menetapkan kenaikan upah minimum rata-rata Rp 650 ribu. Ketiga, meminta Sultan HB X menegur Gubernur Yogyakarta segera menetapkan upah minimum sektoral provinsi. Keempat, agar Sultan HB X menegur Gubernur Yogyakarta mau mempertimbangkan survei kebutuhan hidup layak yang dibuat buruh. Dan kelima, meminta Sultan HB X menegur Gubernur Yogyakarta agar segera merealisasikan perumahan dan melibatkan buruh dalam perencanaannya.
“Sultan sebagai raja, kami harapkan merespons aspirasi rakyatnya kali ini. Tidak seperti gubernur yang selama ini tak merespons,” ujar Kirnadi.
Wakil Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia DIY Soeharto menuturkan, jika sebagai raja Sultan HB X tetap mendukung pemberlakuan upah murah, ia khawatir konsekuensi sosial yang berlaku. “Rakyat bisa tak percaya lagi ada pengayoman dari rajanya,” ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur Yogyakarta sekaligus Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan proses pembahasan upah 2017 masih terus berlangsung sampai Senin, 31 Oktober 2016, sebelum ia umumkan pada Selasa, 1 November 2016.
Namun Sultan belum mau berkomentar jauh terkait dengan usulan yang disampaikan pemerintah kabupaten/kota kepada dirinya. “Kosek lah, ojo saiki (Sebentar, jangan sekarang),” ujar Sultan.
PRIBADI WICAKSONO