TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai kenaikan cukai rokok tidak sejalan dengan pemahaman arti cukai. Ia mengatakan barang yang dikenai cukai sejatinya adalah barang yang harus dikendalikan peredarannya, seperti alkohol. Padahal, kata dia, hingga saat ini peredaran rokok sulit dikendalikan.
Tulus mengatakan peredaran rokok sejauh ini masih bebas. “ Ini pelanggaran yang berat dari konteks filosofi cukai,” kata dia di Jakarta, Sabtu, 27 Agustus 2016.
Menurut dia, kenaikan cukai rokok hingga menyebabkan harga rokok menjadi Rp 50 ribu tidak bisa dikaitkan dengan daya beli konsumen. Pemberian cukai harus dipahami sebagai cara untuk memperketat peredaran rokok. Namun, kata dia, ada kenaikan produksi rokok dalam 10 tahun terakhir.
Tulus mengatakan kenaikan harga rokok akan merugikan para petani. Menurut dia, saat ini 60 persen produksi rokok ditopang oleh impor tembakau. “Petani lebih banyak menjadi korban,” kata dia.
Industri kecil pun mengalami dampak buruk jika harga rokok naik. Tulus menilai industri kecil akan berguguran. Alasannya bukan lantaran regulasi pemerintah soal pengendalian konsumsi. Namun mereka akan bersaing dengan industri besar.
Tulus menambahkan, soal pemutusan hubungan kerja di pabrik rokok, hal itu terjadi bukan karena kenaikan cukai, melainkan karena adanya mekanisasi industri rokok. Industri besar akan mengalihkan buruhnya menjadi mekanisasi mesin. Satu mesin bisa menggantikan 900 buruh rokok.
Tulus mengatakan, dalam roadmap industri tembakau pada 2020, 96 persen industri rokok menggunakan mesin. Itu terjadi bukan karena cukai, melainkan adanya konversi dari manusia ke mesin.
DANANG FIRMANTO