TEMPO.CO, Jakarta - Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia atau Gaprindo membantah melakukan lobi-lobi agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang pro industri rokok. Menurut Ketua Gaprindo Benny Wachjudi, tuduhan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat.
“Kami sangat menyayangkan upaya mendiskreditkan lndustri Hasil Tembakau (IHT) dengan berbagai tuduhannya,” kata Benny melalui keterangan tertulis pada Jumat, 8 Maret 2024. Padahal, ujar Benny, para produsen rokok selalu aktif mendukung berbagai program pemerintah.
Benny mengklaim industri rokok hanya melakukan komunikasi dengan pemerintah melalui jalur-jalur yang legal. “Sebagai warga usaha yang legal, kami selalu berupaya menjalin komunikasi yang baik dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah,” ujar dia.
Komunikasi itu, kata Benny, dilakukan agar pemerintah mendapat gambaran yang menyeluruh tentang industri hasil tembakau. Dia mengklaim industri rokok memiliki dampak yang positif terhadap perekonomian dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia.
Dia menyatakan hal tersebut sebagai bentuk partisipasi publik yang bermakna dalam perumusan kebijakan. “Sehingga kebijakan yang ditetapkan mampu mencapai tujuan pembuatannya, berimbang, dan tetap memperhatikan keberlanjutan usaha,” ujar Benny.
Sebelumnya, ekonom senior Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, mengatakan industri rokok punya pengaruh kuat untuk menentukan kebijakan pemerintah dan peraturan undang-undang. “Mereka promote lewat undang-undang. Jadi lewat legislasi, lewat kementerian, lewat Istana,” ucap Faisal dalam program Bocor Alus Politik Tempo pada Kamis, 7 Maret 2024.
Faisal memberikan contoh salah satu kebijakan pemerintah yang mempromosikan industri rokok, yaitu melalui bagi hasil cukai. Menurut Faisal, saat ini bagi hasil cukai rokok ditentukan berdasarkan jumlah produksi rokok per daerah. Hal itu bisa menyebabkan produksi rokok terus meningkat demi mendapatkan bagi hasil yang lebih besar.
Seharusnya, kata Faisal, bagi hasil cukai ditentukan berdasarkan jumlah perokok di tiap daerah. Pasalnya, daerah dengan jumlah perokok lebih besar pasti butuh biaya layanan kesehatan atau BPJS yang lebih tinggi. “Ini yang dikasih insentif daerah produsen, ini kan namanya udah geblek,” ucap Faisal.
Pilihan Editor: Stanford Mau Bangun Kampus di IKN, Kemendikbud: Kami Belum Terima Usulan Itu