TEMPO.CO, Jakarta - Perusahaan rokok disebut memiliki cengkeraman yang kuat terhadap pemerintah dan pembuatan peraturan di Indonesia. Hal itu disampaikan ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri dalam program Bocor Alus Politik Tempo edisi Kamis, 7 Maret 2024.
Namun, petinggi perusahaan rokok tidak sepakat dengan dosen ekonomi politik itu. Menurut Direktur PT HM Sampoerna Elvira Lianita, perusahaannya selalu tunduk terhadap peraturan perundang-undangan dalam menyampaikan pendapat kepada pemerintah dan DPR.
Menurut Elvira, hal itu sudah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. “Hal ini juga mencakup pada pemberian masukan dan pendapat terhadap pembahasan rancangan peraturan perundangan yang berkaitan dengan kelangsungan IHT (industri hasil tembakau),” kata Elvira melalui keterangan tertulis pada Sabtu, 9 Maret 2024.
Bos salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia itu menyampaikan bahwa Sampoerna menghargai dan menggunakan akses menyampaikan pendapatnya kepada pemerintah. Hal itu, kata dia, bertujuan agar tercipta kepastian hukum yang bisa menghadirkan iklim usaha yang kondusif.
“Di mana pihak yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung, memiliki akses untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” ucap Elvira. Dia menyatakan hal itu adalah perwujudan dari asas keterbukaan dalam pembuatan peraturan.
Sebelumnya, dalam program Bocor Alus Politik Tempo, Faisal Basri menyatakan perusahaan rokok memiliki lobi-lobi yang kuat di lingkungan Istana dan pembuat undang-undang, termasuk partai politik. “Mereka promote lewat undang-undang. Jadi lewat legislasi, lewat kementerian, lewat Istana,” ucap dia, Kamis.
Menurut Faisal, perusahaan rokok berusaha mempengaruhi pemerintah agar tidak mengeluarkan kebijakan yang menghambat industri tersebut. Faisal menyatakaan hal tersebut sudah berlangsung sejak lama.
Dia memberikan contoh saat Indonesia batal menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau pada 2004. Menurut Faisal, ruang gerak industri rokok bakal lebih terbatas jika Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut.
Ketika itu, kata Faisal, Menteri Kesehatan era Presiden Megawati Soekarnoputri, Achmad Sujudi sudah tiba di New York untuk menandatangani FCTC. Namun, dia tiba-tiba ditelpon Presiden yang memintanya kembali ke Indonesia dan batal mengikuti deklarasi FCTC.
Faisal Basri mengklaim perintah presiden itu datang karena kuatnya pengaruh industri rokok di Istana. “Siapa lagi yang mempengaruhi presiden kalau bukan pabrik rokok?” ucap dia.
Pilihan Editor: Stanford Mau Bangun Kampus di IKN, Kemendikbud: Kami Belum Terima Usulan Itu