TEMPO.CO, Yogyakarta – Proyek revitalisasi berupa pengembalian fasad-fasad bangunan asli, seperti yang bergaya "indis", "cina", maupun "jawa campuran" di sepanjang Jl Malioboro di Yogyakarta akan segera dimulai. Proyek ini dimaksudkan untuk mempertahankan konstruksi bangunan di sepanjang Malioboro yang sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Pengembalian fasad atau tampak depan bagunan itu akan mulai dilakukan pada 2017 setelah penataan kawasan pedestrian Malioboro diselesaikan pada tahun ini.
“Tidak bisa sembarangan mengembalikan fasad. Harus ada kajiannya,” kata Johannes Marbun, Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya kepada Tempo, Selasa, 7 Juni 2016.
Marbun menjelaskan kawasan Malioboro telah ditetapkan menjadi kawasan cagar budaya (KCB). Sebagian bangunan di sana juga telah ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya (BCB). Ini seperti bangunan yang dipakai untuk Apotek Kimia Farma, bangunan Library Center, Gereja Margo Mulyo, Istana Gedung Agung, juga Benteng Vredeburg.
“Bangunan gedung DPRD DIY dan Kantor Gubernuran di Kepatihan juga saya duga sudah ditetapkan sebagai BCB,” kata dia.
Bangunan-bangunan ini, menurut Marbun, tidak boleh mengalami perubahan dan harus dipertahankan bentuknya. Namun ada pula bangunan kuno di kawasan Malioboro yang fasadnya aslinya tinggal bangunan di bagian belakang.
Sedangkan bagian depan bangunan sudah berubah menjadi gaya modern. Ada pula bangunan kuno yang sudah disekat-sekat dengan pemilik yang berbeda. Padahal keberadaan bangunan itu masih di bawah satu atap yang memanjang. “Ini harus mengedepankan dialog dengan pemiliknya,” kata Marbun.
Selain merunut sejarah bangunan di sana dengan mengajak dialog pemiliknya, Marbun juga meminta pemerintah daerah melibatkan mahasiswa arsitektur dari sejumlah perguruan tinggi, yang pernah melakukan riset tentang bangunan di kawasan Malioboro ini.
Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Umar Priyono, menjelaskan pihaknya sedang menunggu peraturan gubernur DIY, yang berisi kajian identitas fasad-fasad bangunan di Malioboro. Pergub itu akan dijadikan acuan Tim Ahli Cagar Budaya untuk melakukan identifikasi fasad bangunan.
“Karena kami hanya bisa melihat dari luar. Untuk bisa masuk dan tahu bagian dalam bangunan, kami perlu pergub,” kata Umar.
PITO AGUSTIN RUDIANA