TEMPO.CO, Surabaya -Pemerintah Kota Surabaya akan merekonstruksi eks markas radio Bung Tomo di Jalan Mawar Nomor 10 Surabaya, yang terlanjur dihancurkan pemiliknya. Namun, sebelumnya akan dilakukan koordinasi dengan beberapa pihak, termasuk pemilik lama, pemilik baru, dan tim arkeolog dari Trowulan.
“Tujuannya untuk mematangkan desain ulang rekonstruksi itu,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Surabaya Wiwiek Widayati saat jumpa pers di Kantor Hubungan Masyarakat Pemkot Surabaya.
Wiwiek tidak memberikan gambaran rekonstruksi itu. Alasannya, arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan belum memberikan rincian bahan bangunan itu. Hanya sebatas potret situasi dan kondisi bangunan cagar budaya itu.
Selain itu, pertemuan dengan beberapa pihak harus dijadwalkan kembali, sehingga dia juga belum bisa memastikan titik-titik yang paling bersejarah. Pemerintah Kota mencari dokumen lama mengenai bentuk bangunan itu, baik dari literatur maupun dari para ahli.
Menurut Wiwiek, meski bangunan aslinya sudah dihancurkan, bangunan hasil rekonstruksi masih bernilai sejarah. Karena cagar budaya di Jalan Mawar itu bukan hanya karena bangunannya, tapi juga lokasinya. “Kalau sudah direkonstruksi nanti tetap menjadi bangunan cagar budaya.”
Seluruh bangunan cagar budaya itu, kata dia, memang boleh direkonstruksi, terutama apabila mengancam jiwa pemiliknya dan struktural bangunan itu sudah lapuk. “Yang penting ada kajian dari arkeolognya serta izin.”
Ahli waris atau pemilik pertama eks markas radio Bung Tomo, Narindrani, 68 tahun, dan Tjintariani (66) membeberkan alasan dijualnya eks markas radio Bung Tomo di Jalan Mawar Nomor 10 Surabaya. Alasan utamanya adalah tingginya biaya untuk merawat bangunan. “Biaya perawatannya sangat tinggi, kami sudah tidak mampu lagi, makanya kami jual,” kata Narindrani kepada Tempo saat ditemui di rumahnya di Surabaya, Senin, 16 Mei 2016.
Menurut Narindrani, untuk biaya air dan listrik, rumah itu membutuhkan Rp 4-6 juta per bulan. Sedangkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terus naik, hingga pembayaran yang terakhir pada 2015 sebesar Rp20 juta. "Tidak ada bantuan apapun, termasuk yang katanya diskon 50 persen untuk bangunan cagar budaya. Itu tidak ada," kata Narindrani, yang dibenarkan Tjintariani.
Wiwiek mengatakan diskon itu harus melalui pengajuan dari pemilik bangunan cagar budaya seperti diatur dalam peraturan daerah Kota Surabaya. “Sebanyak 50 persen itu untuk dipakai perawatannya.”
Perda potongan PBB itu, kata dia, sebenarnya sudah disosialisasikan sejak beberapa tahun lalu hingga ke kecamatan-kecamatan di Kota Surabaya. Namun, ternyata pemilik eks markas radio Bung Tomo belum mengajukan potongan pajak itu. “Nah, setelah pengajuan itu, baru dinilai apakah dia memenuhi syarat atau tidak.”
Narindrani dan Tjintariani mengatakan bangunan itu resmi menjadi bangunan cagar budaya sejak 1996. Dua tahun kemudian, penetapan bangunan cagar budaya itu turun melalui Surat Keputusan (SK) Wali Kota No.188.45/004/402.1.04/1998. Rumah itu awalnya milik Amin, ayah Narindrani dan Tjintariani yang membelinya dari pemerintah Belanda pada 1973. Amin sudah meninggal dan rumah itu diwariskan kepada kedua putrinya.
MOHAMMAD SYARRAFAH