TEMPO.CO, Yogyakarta - Spanduk lowongan pekerjaan menempel di dinding bangunan yang digunakan sebagai kantor kegiatan proyek Apartemen Puri Notoprojo. Tulisan dalam spanduk menawarkan posisi di antaranya site manager, mekanik, safety officer, gudang proyek, dan staf administrasi.
Spanduk juga memberikan informasi lowongan itu diutamakan untuk warga Balerejo dan sekitar proyek apartemen. Bangunan satu lantai berukuran sekitar 15x6 meter itu menjadi pusat kegiatan pengembang yang akan membangun apartemen.Bangunan ini menjadi kantor pemasaran proyek apartemen, yang mereka buka sejak Maret 2017 di kampung Balerejo, Kelurahan Muja-muju, Umbulharjo, Yogyakarta.
Tapi, pengelola proyek apartemen itu, Mahendra Birawa membantah bangunan itu sebagai kantor pemasaran. “Itu bukan kantor pemasaran sih. Tapi, sekretariat untuk kordinasi dengan warga Balerejo, kata Mahendra pada 14 Agustus. Ia menjelaskan hal itu di Kantor Puri Notoprojo di Jalan Laksda Adisucipto Km 6 Yogyakarta. Kantor itu juga menjadi tempat pemasaran proyek apartemen.
Apartemen Puri Notoprojo berada di bawah bendera pengembang PT Abyudaya Tata Anugrah Mandiri. Pemodalnya merupakan warga Jakarta. Dalam akta pendirian perusahaan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Fatimah tercantum sebagai Komisaris perusahaan. Sedangkan, Direktur Utamanya dijabat oleh Taufik dan Mohamad Reza Dwi Putranto sebagai direktur. Modal dasar proyek apartemen itu Rp 1 miliar.
Tak jauh dari bangunan kantor pemasaran itu, lahan proyek apartemen dipagari seng. Inilah lokasi Apartemen Puri Notoprojo yang kini menjadi sorotan akibat protes dari masyarakat sekitar, di tengah kontroversi belum turunnya semua perizinan proyek.
Apartemen itu akan berdiri di atas lahan seluas 3.800 meter persegi. Pada lokasi rencana apartemen, terdapat pasir dan batu teronggok. Pelaksana proyek apartemen telah mulai membuat gorong-gorong saluran pembuangan air.
Apartemen setinggi 7 lantai itu akan memiliki 362 unit. PT Abyudaya Tata Anugerah Mandiri telah membeli lahan itu dari pengembang Grup Majestic Land pada akhir 2016. Pengembang Apartemen Puri Notoprojo sangat percaya diri mengiklankan produknya meski mereka belum membereskan IMB.
Pengelola menyatakan IMB masih dalam proses. Di Kantor Puri Notoprojo di Jalan Laksda Adisucipto Km 6 Yogyakarta terdapat brosur pemasaran. Brosur mereka menawarkan fasilitas kolam renang, laundry, mini market, taman bermain, jogging, fitnes center, dan area komersial.
Ada juga tarif hunian apartemen sesuai tipe dan lantainya. Harga dibanderol Rp 407 juta hingga Rp 1,1 miliar. Dalam brosur itu penawaran dilakukan untuk lantai dua hingga 10. Jumlah lantai tak sama dengan penjelasan Mahendra yang menyebut apartemen itu rencananya dibangun 7 lantai.
Brosur Puri Notoprojo juga menyebut harga yang tercantum sudah termasuk biaya IMB, sertifikat induk pecahan, sertifikat layak fungsi, Pajak Bumi Bangunan sebelum serah terima, dan biaya penyambungan listrik dan air bersih.
Pemasaran juga dilakukan lewat online, misalnya lewat OLX. Saat ini masih diiklankan. Sifatnya membuka wacana dan potensi pasar," kata Mahendra. Tak tanggung-tanggung mereka menggandeng Savills plc sebagai penyedia jasa marketing yang terdaftar di London Stock Exchange.
Protes masyarakat
Proyek apartemen itu mendapat protes keras dari warga Balerejo, Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Mereka memprotes dengan memasang spanduk berisi penolakan apartemen di sejumlah lokasi di sekitar pembangunan proyek itu pada 4 Mei 2017. Selain itu, mereka berdemonstrasi di depan kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Yogyakarta agar menyegel proyek apartemen.
Warga Balerejo yang menolak, Dono Susilo mengatakan setidaknya 500 penduduk yang tinggal di sekitar calon apartemen menolak karena mereka khawatir proyek itu akan mengganggu ketersediaan air sumur milik penduduk. Mereka juga risau karena bangunan tinggi akan menghalau sinar matahari masuk ke rumah-rumah penduduk.
Gangguan lalu lintas atau kemacetan juga menjadi kekhawatiran mereka. Konflik sosial pun terjadi. “Yang paling terasa proyek itu memecah belah warga Balerejo. Ada yang setuju dan ada yang tidak,” kata Dono Susilo.
Dono menyebut sejumlah penduduk Belerejo diiming-imingi duit supaya setuju dengan pembangunan apartemen itu. Tapi, Dono tak merinci berapa jumlah duit yang ditawarkan. Pengelola apartemen juga membagi-bagikan sembilan bahan pokok ketika puasa tiba.
Warga Balerejo telah melaporkan apartemen tidak ber-IMB yang mulai membangun pagar itu kepada Forum Pemantau Independen Kota Yogyakarta. Forum ini bertugas mengawasi kebijakan pemerintah Kota Yogyakarta.
Setelah warga Balerejo protes, pada 4 Mei, petugas Satpol PP menyegel proyek apartemen itu karena melanggar Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung.
Pasal 66 aturan itu berbunyi pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dimulai setelah pemilik memperoleh izin mendirikan bangunan gedung, dan salinan dokumen IMB harus tersedia di lokasi pekerjaan. Pengelola juga wajib memasang papan atau tanda IMB di lokasi pembangunan.
Kepala Bidang Pelayanan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, Setiyono mengatakan Satpol PP telah bertindak untuk menyegel proyek apartemen tak ber-IMB. "Kalau ada kenakalan, misalnya pengusaha membangun tak sesuai IMB, maka IMB kami cabut," kata dia.
Pengembang apartemen Puri Notoprojo, kata dia. bisa mengajukan izin bila memenuhi kelengkapan persyaratan, kajian lingkungan, dan mendapat persetujuan dari masyarakat yang terkena dampak. Di Yogyakarta, saat ini kata Setiyono terdapat dua apartemen yang memiliki IMB, yakni Sindunegaran Palace di kawasan Kelurahan Bumijo, Jetis dan Jogja Apartemen di Jalan Lowanu.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, Suyana menyatakan untuk mengurus IMB, pengelola proyek apartemen, harus melewati proses Analisis Dampak Lingkungan, analisis dampak lalu lintas, dan izin lingkungan. Setelah proses itu dipenuhi, pengelola apartemen mendaftar pengurusan IMB di Kantor Dinas Perizinan. Menurut dia, pengelola Apartemen Puri notoprojo, kata dia belum mengurus Amdal. "Prosesnya panjang untuk urus Amdal dan melibatkan ahli," kata dia.
Tak jauh dari proyek Apartemen Puri Notoprojo terdapat Hotel Grand Timoho yang belakangan berubah fungsi menjadi pondokan. Di tengah pengerjaan Hotel Grand Timoho disegel Pemerintah Kota karena pengembang membangun tak sesuai rencana awal, yang tercantum di IMB. Penyegelan terjadi pada 19 Januari 2017, setelah penduduk memprotes keberadaan pembangunan Hotel Grand Timoho.
Pengelola membangun enam lantai, padahal dalam IMB tertera Grand Timoho hanya boleh membangun satu lantai. Kegiatan membangun enam lantai itu melanggar Perda Kota Yogyakarta Nomor 2 tahun 2012 tentang Bangunan Gedung. Pasal 92 juncto pasal 96 ayat satu menyebutkan pelanggar aturan itu terancam kurungan tiga bulan dan denda Rp 50 juta.
Kini, bangunan Hotel Grand Timoho menjadi pondokan At Home. Pondokan itu diduga satu manajemen dengan Hotel Grand Timoho atau hanya berubah peruntukan dari hotel menjadi pondokan. Tempo berusaha menghubungi pengelola pondokan At Home untuk bertemu dan wawancara. Tapi, pengelola At Home menyatakan sedang berada di luar kota. Manajer Lapangan pondokan At Home, Supomo hanya menjawab pertanyaan Tempo secara singkat melalui sambungan telepon. "Sudah tidak ada masalah," kata dia. IMB pondokan itu kini masih dalam proses di Dinas Perizinan.
Pemerintah tak tegas
Kepala Divisi Pemantauan dan Investigasi Forum Pemantau Independen Kota Yogyakarta, Baharudin, mengatakan Pemerintah Kota Yogyakarta tidak tegas terhadap pengembang nakal yang tidak memenuhi persyaratan mengurus IMB. Persyaratan itu, kata dia juga sekadar formalitas belaka dan tak memperhatikan dampak sosial dan lingkungan.
Ia juga mengingatkan Pemerintah Kota agar tak sekadar menyegel proyek apartemen setelah terbukti melanggar Peraturan Daerah. " Yang diperlukan ketegasan menerapkan aturan. Kepentingan publik jangan diabaikan," kata Baharudin.
Pegiat Warga Berdaya, Elanto Wijoyono menyebut Pemerintah Kota Yogyakarta abai dan tak tegas menerapkan aturan kepada calon apartemen maupun hotel yang melanggar. Warga Berdaya selama ini dikenal aktif mengkritisi maraknya pembangunan hotel dan apartemen di Yogyakarta. "Satpol PP baru turun ketika diprotes warga Yogyakarta," kata Elanto.
Menurut dia, serbuan calon apartemen muncul setelah Peraturan Daerah No 2 Tahun 2016 tentang Rumah Susun untuk pembangunan komersial atau apartemen terbit. Aturan itu memberi angin segar bagi para investor untuk berlomba-lomba masuk ke Yogyakarta dengan mudah. Tapi, Pemerintah Kota Yogyakarta tidak memikirkan risiko sosial dan lingkungan.
Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta menerima sejumlah aduan warga Yogyakarta terhadap pengembang hotel. Misalnya aduan penggunaan air bawah tanah dan sumur dangkal. Warga Yogyakarta khawatir krisis air akan terjadi bila serbuan pembangunan hotel tidak dikendalikan. "Pemerintah seharusnya mengawasi ketat pemanfaatan air bawah tanah itu," Ketua Lembaga Ombudsman DIY Sutrisnowati.
Serbuan hotel dan apartemen tidak ber-IMB itu mendapat sorotan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Yogyakarta. Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fokki Ardiyanto mengatakan Pemerintah Kota Yogyakarta seharusnya aktif mengumumkan kepada masyarakat tentang apartemen yang tidak ber-IMB supaya mereka berhati-hati sebelum berinvestasi. “Penyegelan saja tidak cukup. Pemerintah harus jelaskan kepada konsumen supaya mereka berhati-hati,” kata Fokki.
Warisan budaya
Ahli Perencanaan Tata Kota Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Bakti Setiawan mengkritik Pemerintah Kota Yogyakarta yang tidak tegas terhadap pengembang apartemen maupun hotel tidak ber-IMB. "Pemerintah seolah tutup mata. Tidak cukup sekadar menyegel bangunan tidak ber-IMB," kata dia.
Pembangunan hotel di Yogyakarta menurut dia sangat kapitalistik atau menguntungkan para investor besar. Pemodal besar menyerobot lahan dan sumber daya lokal. Dampaknya adalah konflik pasar dan modal, lingkungan, dan ketidakpedulian pada warisan bersejarah.
Hotel-hotel di Yogyakarta dengan arsitektural menjulang menurutnya merusak tata ruang, merusak lingkungan. Ia melihat tidak ada konsep yang jelas tentang desain arsitektural bangunan, misalnya tidak adanya pembatasan jumlah kamar maupun tinggi bangunan.
Padahal, ada kebijakan alternatif yang bisa ditempuh untuk mencari jalan tengah menata kota. Caranya adalah menjembatani pasar dan budaya tanpa merusak lingkungan. Misalnya membangun dan memperkuat homestay di perkampungan yang punya nilai sejarah. Contoh di kampung-kampung Jeron Beteng, Patangpuluhan, dan Prawirotaman. "Pengelolaan homestay berbasis komunitas akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat," kata dia.
Yogyakarta bisa belajar dari kota-kota di Asia Tenggara yang mempertahankan unsur-unsur sejarahnya dalam membangun kotanya. Misalnya Chiang Mai di Thailand, Penang, dan Melaka Malaysia. Tiga kota itu mempertahankan bangunan bersejarah dan mereka punya hotel-hotel dengan jumlah kamar yang dibatasi atau skala medium, hanya enam hingga delapan kamar untuk setiap hotel.
SHINTA MAHARANI